Bisnis.com, JAKARTA - Belakangan kelayakan Airlangga Hartarto sebagai ketua umum (ketum) Partai Golkar mulai banyak dipertanyakan.
Beberapa eksponen Partai Golkar mendorong penyelenggaraan musyawarah nasional luar biasa (munaslab) Partai Golkar dengan salah satu opsi untuk melengserkan Airlangga sebagai ketum partai.
Tak hanya itu, pada Selasa (18/7/2023), Kejaksaan Agung (Kejagung) memanggil Airlangga sebagai saksi di kasus korupsi ekspor CPO (crude palm oil), meski akhirnya Airlangga tak memenuhi panggilan itu.
Menurut peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati bahwa deretan kejadian itu belum akan membuat posisi Airlangga sebagai pimpinan tertinggi partai terancam.
"Saya pikir [posisi Airlangga sebagai ketum Golkar] masih aman," ujar Wasisto kepada Bisnis, Kamis (20/7/2023).
Dia menjelaskan, pemanggilan oleh Kejagung tak akan mendiskreditkan Airlangga. Menurutnya, wajar apabila seorang menteri bidang perekonomian dimintai verifikasi soal ekspor CPO.
Baca Juga
Begitu juga soal dorongan dari eksponen Partai yang meminta munaslub sebab hanya dorongan dari eksternal. Sementara itu, Wasisto melihat internal Partai Golkar masih solid.
Peraih gelar Master of Political Science (Advanced) dari Australian National University ini berpendapat, elite Partai Golkar sudah belajar dari pengalaman mereka yang kerap terjadi perpecahan di dalam tubuh partai.
"Saya pikir para elite telah belajar bahwa dualisme maupun friksi malah justru akan menimbulkan disrupsi internal partai," jelas Wasisto.
Beberapa perpecahan di kubu Partai Golkar misalnya terjadi pada Pemilu 2014. Saat itu, Partai Golkar terbelah menjadi dua antara mendukung pencapresan Aburizal Bakrie (Ical) atau Jusuf Kalla yang pada waktu itu menjadi calon wakil presiden alias cawapres yang diusung PDI Perjuangan (PDIP). Jusuf Kalla adalah kader senior Golkar.
Puncak konflik pada waktu itu adalah keputusan Ical dan gerbongnya untuk mendukung Prabowo Subianto sebagai capres pada 2014. Singkat cerita mereka kalah.
Konflik terus terjadi di antara elite partai beringin kali ini melibatkan Ical dengan Agung Laksono. Dua-duanya adalah menteri pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ical menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Bali. Sejumlah pendukung Agung Laksono datang ke Bali. Mereka sempat bersitegang dengan ormas lokal yang mengamankan Munas versi Ical. Terjadi dualisme kepemimpinan Golkar.
Konflik sedikit mereda pada tahun 2016. Saat itu musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) yang menunjuk Setya Novanto sebagai Ketua Umum Golkar. Namun kepemimpinan Setya Novanto berakhir dengan kasus pidana.
Airlangga Hartarto kemudian menjabat sebagai Ketua Umum Golkar sejak tahun 2017 setelah persaingan ketat dengan Bambang Soesatyo.