Bisnis.com, JAKARTA - Seorang ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan bahwa perlakuan pembatasan terhadap perempuan dan anak perempuan di Afghanistan oleh Taliban bisa menjadi "apartheid gender".
Ahli PBB itu menyatakan bahwa itu terjadi karena hak-hak perempuan Afghanistan terus dirusak oleh otoritas pemerintah Taliban.
Pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia (HAM) di Afghanistan Richard Bennett mengatakan kepada Dewan HAM di Jenewa bahwa diskriminasi parah Taliban terhadap perempuan menimbulkan kekhawatiran.
“Diskriminasi yang parah, sistematis, dan terlembagakan terhadap perempuan dan anak perempuan adalah inti dari ideologi dan aturan Taliban, yang juga menimbulkan kekhawatiran bahwa mereka mungkin bertanggung jawab atas apartheid gender,” katanya.
Melansir Aljazeera, PBB mendefinisikan apartheid gender sebagai diskriminasi seksual ekonomi dan sosial terhadap individu karena jenis kelamin mereka.
"Kami telah menunjukkan perlunya eksplorasi lebih lanjut tentang apartheid gender, yang saat ini bukan merupakan kejahatan internasional, tetapi bisa menjadi demikian," lanjutnya.
Baca Juga
Para penguasa Afghanistan membenarkan pembatasan terhadap perempuan berdasarkan interpretasi mereka terhadap Islam.
“Tampaknya jika seseorang menerapkan definisi apartheid, yang saat ini untuk ras, pada situasi di Afghanistan dan menggunakan seks daripada ras, maka tampaknya ada indikasi kuat yang mengarah ke sana," tambahnya.
Penilaiannya datang ketika penguasa Afghanistan telah melarang jutaan perempuan dari pendidikan dan pekerjaan sebagai bagian dari peningkatan pembatasan hak-hak perempuan sejak mereka mengambil alih negara itu pada 2021.
Meski begitu, beberapa pemimpin senior Taliban mengkritik larangan sekolah perempuan, dengan mengatakan bahwa Islam memberikan perempuan dan anak perempuan hak atas pendidikan dan pekerjaan.
Lebih lanjut, tidak ada negara mayoritas muslim lainnya yang melarang anak perempuan dan perempuan berpendidikan dan bekerja.