Bisnis.com, JAKARTA - Filipina dan China berkomitmen untuk bekerja sama menyelesaikan perbedaan maritim kedua negara di Laut China Selatan pada Sabtu (22/4/2023).
Pembicaraan antara Menteri Luar Negeri kedua negara itu menandai yang terbaru dari serangkaian pertemuan tingkat tinggi antara Filipina dan para pemimpin Amerika Serikat (AS) dan China saat kedua negara adidaya itu bertempur untuk mendapatkan keuntungan strategis di Indo-Pasifik.
Sekretaris Urusan Luar Negeri Filipina Enrique Manalo mengatakan bahwa hubungan Manila dengan Beijing lebih dari sekadar perbedaan atas Laut China Selatan.
Dia mengatakan itu saat memulai pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri China Qin Gang di Manila, seperti dilansir dari CNA, pada Sabtu (22/4/2023).
"Perbedaan ini seharusnya tidak menghalangi kita untuk mencari cara mengelolanya secara efektif, terutama sehubungan dengan penikmatan hak-hak orang Filipina, terutama nelayan," katanya.
Sejak Presiden Ferdinand Marcos Jr menjabat pada Juni tahun lalu, Filipina telah mengajukan puluhan protes diplomatik atas kehadiran kapal penangkap ikan China dan tindakan agresif China di perairan strategis itu.
Baca Juga
Qin Gang mengatakan bahwa kedua negara perlu bekerja sama untuk melanjutkan tradisi persahabatan, memperdalam kerja sama, dan menyelesaikan perbedaan dengan baik.
Lebih lanjut, Qin sendiri akan bertemu dengan Marcos pada Sabtu (24/2/2023) malam.
Dia menyatakan bahwa bekerja sama akan membantu mempromosikan perdamaian dan stabilitas kawasan dan dunia.
Kunjungannya dilakukan hanya beberapa pekan setelah Filipina mengumumkan lokasi 4 pangkalan militer tambahan AS, dan 2 di antaranya menghadap ke utara menuju Taiwan.
Lebih dari 17.000 tentara Filipina dan AS melakukan latihan militer gabungan terbesar di negara Asia Tenggara itu, menuai kritik dari Beijing, saingan Manila di Laut China Selatan.
Sebuah keputusan penting oleh Pengadilan Arbitrase Permanen membatalkan klaim kedaulatan China atas hampir semua Laut China Selatan pada 2016.
Pada saat itu klaim tersebut telah dilakukan dengan barang-barang yang dibawa kapal senilai sekitar US$3 triliun atau Rp44.808 triliun setiap tahun dan diyakini kaya akan mineral, dan cadangan minyak dan gas.
Vietnam, Malaysia, Brunei, Indonesia, dan Filipina memiliki klaim yang bersaing di beberapa bagian jalur perairan tersebut.