Bisnis.com, JAKARTA - Kondisi di Myanmar semakin mencekam. Sebuah serangan udara oleh junta militer menewaskan setidaknya 50 orang pada Selasa (11/4/2023). Serangan itu terjadi pada acara yang dihadiri oleh oposisi atau yang dianggap 'pemberontak'.
Mengutip laporan BBC Burma, Radio Free Asia (RFA) dan portal berita Irrawaddy melaporkan antara 50 hingga 100 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam serangan itu.
Junta militer Myanmar mengkonfirmasi serangan udara di sebuah desa.
"Ada upacara pembukaan kantor [Pasukan Pertahanan Rakyat]. [Pada Selasa] pagi sekitar pukul 8 pagi di desa Pazi Gyi. Kami menyerang tempat itu," kata juru bicara Junta Zaw Min Tun Selasa malam, dilansir dari CNA, Rabu (12/4/2023).
Dia mengatakan beberapa yang tewas adalah pejuang antikudeta berseragam.
“Menurut informasi lapangan yang kami dapat, orang-orang terbunuh bukan karena serangan kami saja. Ada beberapa ranjau yang ditanam oleh PDF [Tentara Pertahanan Rakyat] di sekitar area itu,” katanya.
Baca Juga
Myanmar berada dalam kekacauan dengan ekonomi yang terpuruk sejak militer merebut kekuasaan dalam kudeta pada Februari 2021.
Kepala Hak Asasi PBB Volker Turk mengaku prihatin dengan serangan udara mematikan yang menewaskan banyak korban, termasuk anak-anak. Dia pun menyerukan kepada dunia internasional untuk mendukung keadilan dan para pelaku segera diadili.
Senada, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk keras serangan oleh Angkatan Bersenjata Myanmar itu dan meminta pertanggungjawaban.
Sementara itu, Amerika Serikat (AS) juga prihatin terhadap serangan udara itu. juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel dalam sebuah pernyataan mengatakan bahwa rezim di Myanmar sama sekali mengabaikan hak asasi manusia.
"Serangan kekerasan ini semakin menggarisbawahi pengabaian rezim terhadap kehidupan manusia dan tanggung jawabnya atas krisis politik dan kemanusiaan yang mengerikan di Myanmar setelah kudeta Februari 2021," katanya.
Washington, sambungnya, meminta rezim untuk menghentikan kekerasan dan mengizinkan akses kemanusiaan tanpa hambatan, dan untuk menghormati aspirasi demokrasi yang tulus dan inklusif dari rakyat Myanmar.
Di lain pihak, militer Myanmar membantah tuduhan internasional tersebut. Mereka berdalih sedang memerangi teroris yang ingin mengacaukan negara.