Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara terkait dengan cerita pesinden Soimah yang mendapatkan perlakuan buruk dari petugas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.
Sri Mulyani menyampaikan bahwa dirinya menerima aduan dari aktor Butet Kertaredjasa mengenai keluhan Soimah yang didatangi oleh debt collector yang menagih pajak penghasilannya.
"Saya mendapat kiriman video dari mas @masbutet yang mengadu ke saya mengenai keluhan dan kekesalan bu @showimah akibat perlakuan aparat pajak," katanya dalam akun Instagram @smindrawati yang dikutip Bisnis, Minggu ( 9/4/2023).
Terkait hal ini, Sri Mulyani mengatakan pihaknya meminta tim DJP untuk melakukan penelitian atas masalah yang dialami Soimah.
Dalam video penjelasan DJP yang diunggah Sri Mulyani dalam akun Instagramnya, SMI secara terang benderang mengumbar informasi terkait Soimah. Pertama, terkait dengan kisah 2015 saat Soimah membeli rumah, patut diduga yang berinteraksi adalah instansi diluar kantor pajak yang berkaitan dengan jual beli aset berupa rumah.
Jikapun ada interaksi yang dilakukan KPP Pratama Bantul, maka hanya sebatas kegiatan validasi nilai transaksi rumah tersebut.
Baca Juga
Sementara itu, dijelaskan bahwa validasi dilakukan di kantor pajak kepada penjual, bukan kepada pembeli. Hal ini untuk memastikan bahwa nilai transaksi yang dilaporkan memang sesuai dengan ketentuan.
Kedua, dalam video penjelasan, disampaikan bahwa kantor pajak menurut UU memiliki debt collector sendiri atau yang disebut dengan Juru Sita Pajak Negara (JSPN). JSPN bekerja dibekali surat tugas dan menjalankan perintah jelas jika ada tunggakan pajak. Soimah sendiri tercatat tidak ada utang pajak.
Jika ada pegawai pajak yang mendatangi Soimah, mungkin saja itu petugas penilai pajak yang meneliti pembangunan pendopo Soimah.
Namun demikian, petugas pajak melibatkan pegawai profesional agar tak semena-mena. Dari hasil pemeriksaan petugas pajak, nilai bangunan pendopo itu ditaksir Rp4,7 miliar rupiah, bukan Rp50 seperti yang diklaim Soimah.
Ketiga, terkait dengan Soimah yang dihubungi petugas pajak yang seolah dengan cara tidak manusiawi mengejar untuk segera melaporkan SPT pada akhir Maret 2023, ditemukan bahwa petugas pajak hanya mengingatkan Soimah untuk melaporkan SPT dan menawarkan bantuan jika terdapat kendala dalam pengisian agar tidak terlambat karena batas pelaporan adalah setiap akhir Maret.
Beda dengan AEOI
Sikap berbeda justru ditunjukkan para pejabat Kementerian Keuangan terkait hasil automatic exchenge of information alias AEOI.
Pihak Kementerian Keuangan jarang mengungkap ke publik berapa pajak yang telah diperoleh, berapa informasi keuangan yang telah diterima otoritas pajak.
Laporan Tahunan DJP tahun 2021 lalu, misalnya, hanya menyebutkan bahwa program AEOI merupakan pertukaran informasi yang dilakukan pada waktu tertentu, secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan atas informasi perpajakan.
Pada tahun 2021 DJP menyampaikan, DJP telah menerima informasi AEOI atas data withholding tax dari 4 negara/yurisdiksi mitra (inbound withholding) serta telah mengirimkan informasi AEOI atas data withholding tax ke 9 negara/yurisdiksi mitra (outbound withholding).
DJP juga telah menerima informasi CbCR dari 49 negara/yurisdiksi mitra (inbound CbCR) serta telah mengirimkan informasi CbCR ke 25 negara/yurisdiksi mitra (outbound CbCR).
Kemudian Pada tahun 2021, Indonesia telah menerima informasi keuangan dari 89 negara/yurisdiksi mitra atas pemegang rekening keuangan Indonesia/wajib pajak Indonesia (inbound AEOI CRS), serta telah mengirimkan informasi keuangan ke 72 negara/yurisdiksi mitra atas pemegang rekening keuangan asing/subjek pajak luar negeri (outbound AEOI CRS).
Kendati mengklaim telah menerima data dari banyak negara, sampai sekarang DJP tidak menjelaskan berapa nilai yang telah diperoleh. Apakah kebijakan tersebut efektif atau justru tak banyak membantu kepada penerimaan pajak.
Di sisi lain, jika melihat realisasi kepatuhan pajak untuk tahun pajak 2022, kepatuhan formal WP hanya berkisar 61 persen padahal target kepatuhan pada waktu itu adalah 83 persen. Angka ini sebenarnya tidak berubah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Bahkan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi, tahun 2019 misalnya, kepatuhan formal wajib pajak mencapai 72,9 persen.