Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan bahwa arahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pelarangan pejabat pemerinta untuk tak menggelar buka puasa bersama (bukber) bukan mencerminkan pemerintah anti-Islam.
“Wah, mana ada pemerintah anti-Islam, semua itu diurus [pemerintah] dari lahir sampai mati. Ibadah haji diurus, syahadat diurus, salat diurus, semua diurus,” katanya kepada wartawan di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat (23/3/2023).
Lebih lanjut, dia justru menilai bahwa surat Sekretaris Kabinet Republik Indonesia Nomor 38/Seskab/DKK/03/2023 perihal arahan terkait penyelenggaraan buka puasa bersama itu juga tidak menimbulkan kontroversi.
“Tidak ada kontroversi, siapa bilang? Tidak ada kontroversi,” katanya.
Meski begitu, dia menganjurkan agar sebaiknya dana berbuka puasa bersama oleh pejabat pemerintahan bisa diberikan kepada fakir miskin sehingga lebih bermanfaat.
“Jadi kalau tidak buka bersama, bisa digunakan untuk santunan fakir miskin, untuk yatim piatu, kan lebih bermanfaat, lebih berguna,” pungkasnya.
Baca Juga
Senada, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) juga sepakat apabila Presiden mengeluarkan larangan buka puasa bersama pada Ramadan tahun ini bagi menteri dan pejabat negara.
Menurutnya, upaya meniadakan buka puasa bersama sejalan dengan kebiasaan warga nahdliyin yang merasa sumpek apalabila menerima undangan untuk berbuka puasa bersama.
"Kalau orang NU ini sebenarnya sumpek diajak buka bersama itu. Kami itu kalau di NU kegiatan habis salat Magrib itu siap-siap tarawih, habis tarawih baru kegiatan. Buka bersama itu sumpek. Saya sendiri paling takut kalau puasa diundang buka puasa bersama, paling takut saya," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (24/3/2023).
Lebih lanjut, Gus Yahya juga mempertanyakan tujuan dari pelaksanaan buka puasa bersama. Menurutnya, umat Islam seharusnya lebih fokus berbagi dengan kaum fakir miskin dalam rangka menambah pahala saat Ramadan.
"Ya selama ini orang bikin buka bersama tuh apa sih yang dilakukan? Kalau bagi-bagi ke kaum fakir miskin, nah itu saya kira penting. Bagi-bagi buka untuk fakir miskin, untuk orang yang terjebak macet di jalan, dan sebagainya, saya kira penting. Ya bagi-bagi saja, bagi-bagi. Nggak usah bikin seolah-olah kita jadi pesta besar makan-makan. Ndak perlu saya kira," ujarnya.
Sebelumnya, pihak Istana memberikan penjelasan terkait arahan Presiden RI Ke-7 tersebut yang melarang pejabat dan pegawai pemerintah untuk mengadakan buka puasa bersama.
Sekretaris Kabinet Pramono Anung yang mewakili pihak Istana menyampaikan larangan itu hanya ditujukan kepada para menteri hingga kepala lembaga.
"Saya perlu menjelaskan surat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Kabinet berkaitan dengan buka puasa bersama. Yang pertama, buka puasa itu, atau arahan Presiden itu, hanya ditujukan kepada para menko, para menteri, kepala lembaga pemerintah," katanya dalam pernyataan pers di akun YouTube Setpres, Kamis (23/3/2023).
Dia memastikan bahwa larangan ini tidak berlaku untuk masyarakat umum. Sehingga, masyarakat tetap diberi keleluasaan untuk melakukan buka puasa bersama.
"Yang kedua, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat umum sehingga dengan demikian masyarakat umum masih diberi kebebasan untuk melakukan atau menyelenggarakan buka puasa bersama," ujarnya.
Apalagi, Pramono melanjutkan bahwa saat ini pejabat pemerintah banyak disorot oleh masyarakat. Pejabat dianjurkan untuk buka puasa bersama secara sederhana.
"Saat ini aparat sipil negara, pejabat pemerintah, sedang mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari masyarakat. Untuk itu, Presiden meminta jajaran pemerintah, ASN, berbuka puasa dengan pola hidup yang sederhana," ucapnya.
Di sisi lain, Epidemiolog dari Universitas Griffith, Australia Dicky Budiman menilai larangan buka puasa bersama yang dikeluarkan Presiden asal Surakarta terhadap jajaran pegawai pemerintah ideal dalam konteks memastikan proses transisi pandemi Covid-19 menuju endemi berjalan lancar.
Penyebabnya, dia menyebutkan bahwa jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) mencapai sekitar 4,3 juta orang ditambah dengan pegawai kontrak di kementerian/lembaga yang ada di sekitarnya.
"Tentu jumlah ini sangat signifikan dalam konteks turut menjaga masa transisi ini, turut memastikan masa transisi dari pandemi ini dalam proses yang smooth dalam proses yang tidak ada gejolak dan tidak menimbulkan risiko lahirnya sebaran baru, klaster baru, dan sebagainya," katanya, Jumat (24/3/2023).
Kendati demikian, dia melanjutkan apabila dipantau dari sisi urgensi, penyebaran wabah sudah jauh berkurang. Sehingga upaya tersebut bisa diartikan sebagai rangka mencapai modal imunitas di masyarakat agar makin tinggi baik dari usaha lainnya seperti vaksinasi maupun infeksi.
"Untuk bicara konteks pembatasan tetapi urgensinya atau keharusannya itu sudah berkurang. Bukan tidak ada sama sekali tapi jauh lebih berkurang karena modal imunitas yang ada di masyarakat sudah jauh lebih baik," ujarnya.
Dicky menilai, langkah pemerintah ini sebagai bentuk kehati-hatian pemerintah untuk memastikan tidak ada celah penularan salah satunya melalui kegiatan buka puasa bersama di jajaran pemerintah.
Menurutnya, pemerintah ingin pegawai pemerintah menjadi model percontohan bagi masyarakat lainnya dalam menjalankan pola hidup bersih dan sehat (PHBS) selama maupun setelah pandemi Covid-19.
"Ditambah, masyarakat saat ini di tengah kondisi yang lagi menyoroti ASN atau pejabat publik secara umum. Tentu saya kira bijak apa yang disampaikan Presiden (Jokowi) untuk peran dari ASN ini sebagai role model dan tidak hanya berhenti di situ mereka harus memanfaatkan ini untuk meningkatkan literasi publik bagaimana pentingnya PHBS selama dan setelah pandemi," pungkas Dicky.