Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut alur birokrasi dana transfer ke daerah (TKD) rawan praktik korupsi.
Menurut Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan, alur birokrasi dana TKD sangat berliku dengan syarat kepentingan politik anggaran yang seluruhnya memicu praktik korupsi.
Dia menilai seluruh dana yang dialokasikan untuk daerah harus melewati sejumlah meja yang kerap dihinggapi praktik kotor.
“Termasuk pada dana perencanaan yang diajukan pemerintah daerah terhadap Kementerian Keuangan, dapat berubah sesuai dinamika dan persetujuan DPR. Pada tahap perencanaan ini pemerintah daerah harus berjuang ke Jakarta, ke kementerian supaya masuk ke dalam usulan yang akan dibawa Kementerian Keuangan ke DPR,” kata Pahala, dikutip dari keterangan resmi, Rabu (8/3/2023).
Rawan korupsi pada birokrasi transfer pusat ke daerah akhirnya menjadi kajian dari lembaga antirasuah. Hasil dari kajian tersebut disampaikan kepada pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian PPN/Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri, di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (7/3/2023).
Berdasarkan hasil kajian, ditemukan juga bahwa rendahnya kemampuan mengelola keuangan dan aset dalam otonomi daerah menjadi pekerjaan rumah pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.
Baca Juga
Kondisi tersebut dinilai merupakan dampak dari lemahnya sistem yang mengakibatkan munculnya indikasi korupsi dan pelbagai pungutan yang dapat mengurangi upaya pertumbuhan perekonomian daerah.
Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan bahwa lembaganya juga menemukan berbagai masalah terhadap besaran nilai transfer ke daerah. Khususnya, dampaknya terhadap daya saing antardaerah.
“Dalam kajian ini, KPK menemukan berbagai permasalahan terhadap besarnya nilai alokasi dana Transfer ke Daerah dalam belanja pemerintah daerah,” kata Ghufron.
Secara rinci, dana transfer ke daerah memiliki porsi sepertiga dari anggaran negara. Porsi dana itu selama 2017 sampai dengan 2022 berkisar antara 21 hingga 37 persen dalam belanja pemerintah.
Sementara itu, ketergantungan daerah terhadap dana dari pusat mencapai sekitar 56 persen dari pendapatan daerah pada 2017 sampai dengan 2022.
Temuan itu, lanjut Ghufron, sejalan dengan fakta bahwa KPK telah menangani setidaknya 178 kepala daerah selama rentang waktu 2004–2022. Mereka terdiri dari 23 gubernur, 155 Wali Kota/Bupati/Wakilnya yang terjerat kasus tindak pidana korupsi.
"Setengah dari jumlah tersebut, tercatat ada 113 kepala daerah yang kasusnya terjadi dalam enam tahun terakhir,” ungkapnya.
Ghufron lalu membeberkan modus suap merupakan modus yang sering digunakan para pelaku untuk melakukan korupsi. Contohnya seperti menyalahgunakan jalur aspirasi DPR pada pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK), menggunakan pengaruh pejabat eksekutif dan legislatif untuk mengintervensi kementerian terkait, serta menjual informasi alokasi DAK dan Dana Insentif Daerah (DID) kepada pemerintah daerah.