Bisnis.com, JAKARTA -- Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sistem Keuangan atau UU PPSK yang telah disahkan DPR menyunat sekaligus menambah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan atau OJK. Di satu sisi, OJK telah kehilangan independensi karena harus 'tunduk' terhadap rezim keuangan negara (Menteri Keuangan).
Namun secara kelembagaan, OJK juga memiliki beberapa kewenangan luar biasa dalam penegakan hukum. Sebut saja, Pasal 49 ayat 5 UU PPSK yang menegaskan OJK sebagai satu-satunya lembaga yang berhak menyidik perkara tindak pidana di sektor keuangan.
Perlu dicatat, dengan penegasan peran tersebut, OJK memiliki kewenangan laiknya aparat penegak hukum. OJK bisa menangkap, melakukan penyidikan termasuk penyidikan tindak pidana pencucian uang, hingga menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa. Tiga ketentuan yang sebelumnya tidak diatur sama sekali dalam UU No.21/2011 tentang OJK.
Penegasan peran OJK itu jelas mereduksi sekaligus berpotensi overlapping dengan tugas dan fungsi penegak hukum lain misalnya Polri, Kejaksaan Agung (Kejagung) maupun KPK dalam pengusutan tindak pidana yang berkaitan dengan sektor keuangan.
Lahirnya UU PPSK juga secara tidak langsung telah mendeklarasikan OJK sebagai lembaga penegak hukum laiknya Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung.
Apalagi beleid baru itu secara spesifik mengatur ketentuan tentang penyidik OJK. Ketentuan mengenai penyidik OJK sebelumnya diatur dalam Pasal 49 Undang-undang No.21/2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Baca Juga
UU OJK yang lama telah secara gamblang menjelaskan bahwa penyidik OJK hanya berasal dari dua institusi. Pertama, sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Polri. Kedua adalah penyidik pegawai negeri sipil atau PPNS yang lingkup tugasnya mengawasi sektor jasa keuangan di OJK.
Menariknya dalam pasal 49 UU PPSK, pemerintah dan DPR telah sepakat menambah kategori penyidik di OJK. Selain Polri dan PPNS, mereka menambahkan frasa pegawai tertentu yang bisa diangkat sebagai penyidik di sektor jasa keuangan.
Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan pegawai tertentu, apakah pegawai itu pegawai OJK atau pegawai bank, pegawai asuransi, pegawai bangunan dan pegawai toko kelontong. Tidak ada penyebutan institusi secara spesifik mengenai asal-usul pegawai tertentu tersebut. Ini berpotensi multitafsir.
UU PPSK, yang tak kunjung diberikan nomor oleh presiden ini, hanya menjelaskan bahwa pegawai tertentu yang diberikan kewenangan khusus khusus menjadi penyidik harus terlebih dahulu memenuhi kualifikasi Polri. Sedangkan dalam konteks penyidikan yang diberikan kepada pegawai tertentu, nantinya OJK akan melakukan koordinasi dengan Polri.
Pengangkatan pegawai tertentu sebagai penyidik menarik untuk disimak. Sebab dalam KUHAP, yang menjadi acuan pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia, penyidik jelas adalah seorang pejabat atau anggota Polri atau PPNS. PPNS itupun harus bekerja sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
KUHAP tidak mengenal istilah penyidik dari pegawai tertentu. KUHAP jelas menegaskan hanya dua penyidik yakni Polri dan PPNS. Memang dalam kasus tertentu, misal di UU KPK yang lama, pernah diatur bahwa lembaga antikorupsi itu bisa mengangkat penyidiknya sendiri.
Pasal ini pernah menuai pro kontra di kalangan aparat penegak hukum sendiri. Saat itu KPK mengangkat Novel Baswedan yang tidak lagi berstatus sebagai anggota Polri.
Pengangkatan Novel sebagai penyidik dinilai menyalahi KUHAP karena tidak berstatus sebagai anggota Polri. Terlepas dari pro dan kontra, pengangkatan Novel sebagai penyidik KPK masih bisa dipahami karena korupsi adalah kejahatan luar biasa alias extraordinary crime dan UU KPK memberikan ruang tersebut.
Meski demikian, pasal itupun telah direvisi dalam UU No.19/2019 tentang KPK atau UU KPK yang baru. UU KPK telah menyelaraskan definisi penyidik dengan KUHAP. Penyidik KPK dalam beleid itu telah diatur secara tegas berasal dari polisi, kejaksaan, dan PPNS. Tidak ada frasa penyidik tertentu atau pegawai tertentu seperti tertuang dalam UU PPSK.
Padahal kalau dilihat secara lebih detail, ketentuan pidana tentang korupsi jelas mengacu kepada ketentuan hukum khusus atau lex specialis salah satunya UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sedangkan kejahatan keuangan seperti investasi bodong dan tetek bengek-nya diatur dalam konsep pidana umum.
Wajar, jika ada kekhawatiran kewenangan superior OJK itu akan menabrak tatanan hukum yang berlaku saat ini. Implementasi pasal ini jelas sebuah pagar atau sengaja diciptakan untuk memagari industri keuangan. Mereka semakin eksklusif.
Mungkin ada trauma di kalangan pelaku industri keuangan, terkait pengungkapan kasus skandal Jiwasraya hingga Asabri yang jelas-jelas merugikan negara triliunan rupiah. Makanya muncul opsi supaya OJK yang menangani kejahatan sektor keuangan.
Pertanyaannya apakah penguatan peran OJK akan efektif memberantas tindak pidana di sektor keuangan atau justru bakal mengulang dosa-dosa OJK sebelumnya yang bobol dalam pengawasan pinjaman online, Wanaartha Life Cs, Jiwasraya, Asabri, hingga kasus investasi bodong atau sebaliknya? Wallahualam