Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apakah Orang Indonesia Sudah Bahagia?

Stagnasi ekonomi dan tingginya korupsi menjadi dua indikator utama yang perlu dituntaskan pemerintah untuk meningkatkan indeks kebahagiaan Indonesia.
Sejumlah anak bermain di depan rumahnya di kawasan Kebun Melati, Jakarta, Kamis (23/6/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Sejumlah anak bermain di depan rumahnya di kawasan Kebun Melati, Jakarta, Kamis (23/6/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Bisnis.com, JAKARYA -- Ada banyak definisi tentang kebahagiaan. Plato, misalnya, menganggap bahwa kebahagiaan adalah tujuan dari kehidupan manusia. Namun demikian dia menekankan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, manusia harus berkomunitas atau polis. Dari gagasan inilah Plato mengungkapkan tentang pentingnya suatu negara.

Plato dalam The Republic menganggap bahwa negara muncul karena ketidakmampuan individu untuk mencukupi kebutuhannya sendiri. Tugas utama negara, oleh karena itu, harus mengarahkan kehidupan manusia untuk memperoleh kebahagiaan. 

"Tujuan kita menegakkan negara bukanlah keseimbangan kebahagiaan kelas tertentu, melainkan demi kebahagiaan buat semua," tulis Plato dalam The Republic

Prinsip-prinsip 'negara kebahagiaan' Plato tersebut kemudian mengilhami banyak pemikir politik dalam mendesain sebuah negara. Seperti apa negara harus dibentuk dan bagaimana konstitusi dirancang untuk menciptakan keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh individu, tidak terkonsentrasi kepada satu kelompok tetapi terdistribusi ke semua warga negara.

Konstitusi Indonesia sendiri didesain cukup lengkap. Tidak ada satupun celah yang memberikan peluang bagi suatu kelompok untuk memonopoli keadilan. Setiap warga negara berada di dalam posisi yang sama, berhak hidup layak lahir dan batin. Tidak ada satupun yang luput. 

Negara, dalam konstitusi yang berlaku, bahkan menguasai cabang-cabang produksi strategis termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalam perut bumi Indonesia dan dimanfaatkan untuk kemakmuran warga negara.

Kendati demikian, harus diakui kerap terjadi gap dalam upaya mewujudkan kebahagiaan. Kondisi alamiah manusia, yang dalam bahasa Thomas Hobbes, saling menghancurkan demi reputasi dan keuntungan pribadi, telah membuat proses mencapai 'negara bahagia' sulit tercapai.

Dalam kasus Indonesia, korupsi dan kongkalikong antara penguasa dan pengusaha menjadi penyakit yang paling akut. Pengusaha saat ini ikut cawe-cawe terhadap kebijakan negara. Kalau dulu pada zaman Orde Lama dan Orde Baru, partai politik jelas dipegang oleh kalangan politisi atau setidaknya orang yang masih ada sangkut pautnya politik. 

Saat ini, pengusaha ikut campur tangan dalam urusan politik, mendirikan partai politik, hingga menjabat posisi strategis di lingkaran eksekutif. Proses bernegara kemudian menjadi transaksional. Pertimbangan pembuatan kebijakan, tidak lagi didasarkan kepada seberapa besar manfaat kebijakan itu kepada rakyat, tetapi diambil dari logika untung rugi. 

Salah satu contoh menarik terjadi dalam pembahasan program BPJS Kesehatan di ruang rapat Komisi IX DPR beberapa tahun lalu. Anggota Komisi IX Ribka Tjiptaning menyentil pemerintah tentang program BPJS. Dia mengatakan bahwa tujuan program Jaminan Kesehatan Nasional alias JKN untuk menyederhanakan birokrasi pelayanan kesehatan supaya tidak berbelit-belit.

Keberadaan JKN adalah pelaksanaan dari konstitusi negara, khususnya Pasal 28 H Undang-undang Dasar 1945, yang secara spesifik mengatur tentang kesamaan hak bagi warga negara dalam memperoleh layanan kesehatan. Tetapi belum juga program itu optimal, pejabat negara sekelas menteri sering kali mengeluh karena merasa defisit JKN yang terus bengkak.

"Jangan lagi bicara nanti rugi dong.. Enggak usah mikir. Negara tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya," tegas Ribka.

Orang Indonesia sudah bahagia?

Bicara kebahagiaan di Indonesia sangat jamak dan multitafsir. Ada orang yang beranggapan ketika banyak harta berarti sudah mencapai tahap kebahagiaan. Tetapi adapula yang memaknai kebahagiaan cukup berkumpul dengan keluarga, meski sandang,  pangan dan papan sangat sederhana. Definisi kebahagiaan sangat relatif.

Supaya pembahasan tidak meluas, rasanya menarik untuk menilik data World Happiness Report atau indeks kebahagiaan global. Indeks kebahagiaan setiap negara dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, healthy and life expectancy, generosity, persepsi korupsi, hingga dukungan sosial.

Jika mengacu kepada data tersebut posisi Indonesia sebenarnya relatif membaik. Indeks kebahagiaan Indonesia berada di peringkat 87. Namun jika dibandingkan dengan negara di Asean, peringkat Indonesia di bawah Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Singapura. 

Indonesia juga terpaut jauh dengan negara-negara Nordik seperti Finlandia, Islandia atau negara bekas penjajah, Belanda yang berada di peringkat 5 negara dengan indeks kebahagian paling tinggi.

Sejatinya ada banyak hal yang memicu rendahnya indeks kebahagiaan Indonesia dibandingkan dengan negara tetangga atau peringkat 5 besar negara pemilik indeks kebahagiaan paling tinggi. Namun tulisan ini hanya akan memfokuskan kepada dua indikator utama yakni PDB perkapita dan persepsi korupsi.

Pertama dari sisi PDB per kapita. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan para menterinya boleh bangga bahwa Indonesia masuk sebagai anggota negara G20, yang merupakan kumpulan negara dengan size PDB terbesar di dunia. Namun kalau bicara PDB perkapita, Indonesia masih terhitung rendah dibandingkan dengan negara-negara G20 lainnya. 

World Bank atau Bank Dunia mencatat bahwa PDB per kapita Indonesia hanya US$4.291,8. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang mencapai US$7.233,4 atau Malaysia yang telah mencapai US$11.371,1 atau hampir tiga kali lipatnya PDB Indonesia. Jangan bandingkan dengan Singapura, karena dengan PDB per kapita sebesar US$72.794, Indonesia hampir tidak ada seujung kukunya. 

Penyebab rendahnya PDB Indonesia disebabkan oleh banyak hal mulai dari good governance atau tata kelola yang baik hingga masalah tranformasi ekonomi yang tak kunjung tuntas. Untuk persoalan yang terakhir, ini sebenarnya menjadi perdebatan yang nyaris tanpa henti.

Hampir semua rezim penguasa di Indonesia selalu bicara tentang transformasi ekonomi. Namun sayangnya, janji manis tentang transformasi itu kerap tidak terealisasi. Pemicunya bisa banyak hal, mulai dari perubahan platform hingga masalah konsistensi dalam menerapkan arah pembangunan ekonomi.

Akibatnya, struktur ekonomi Indonesia sangat rapuh. Kontribusi sektor manufaktur berdasarkan data PDB kuartal III/2022 kemarin tersisa hanya 17,8 persen. Terendah selama lima tahun terakhir. Secara teori, Indonesia sebenarnya telah memasuki fase deindustrialisasi dan sulit keluar dari jebakan middle income trap.

Di sisi lain, good governance merupakan persoalan paling krusial dalam mendorong peningkatan PDB per kapita. Birokrasi yang lambat, kongkalikong hingga praktik suap membuat daya saing Indonesia sangat rendah. Ekonomi kemudian terkonsentrasi di kelompok tertentu. Wajar jika, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berkesimpulan bahwa 1 persen populasi menguasai 50 persen aset nasional.

Indeks Persepsi Korupsi Stagnan

Kedua, stagnasi persepsi korupsi. Corruption Perception Index atau Indeks persepsi korupsi adalah sebuah penilaian indikator korupsi suatu negara yang dilakukan oleh Transparency International. 

Semakin tinggi skor CPI, makin tinggi pula komitmen negara untuk memberantas korupsi dan menciptakan good governance. Sementara semakin rendah skor CPI, maka dipastikan komitmen untuk mewujudkan good governance, termasuk dalam pemberantasan korupsi, patut dipertanyakan.

Adapun, skor CPI Indonesia pada tahun 2021 sebanyak 38 atau naik tipis dari tahun 2020 yang hanya 37. Kenaikan skor CPI itu berimbas positif kepada peringkat Indonesia yang semula berada di nomor 102 menjadi peringkat 98.

Kendati naik, kalau melihat tren CPI selama Presiden Jokowi memimpin cenderung stagnan. Indeks Persepsi Indonesia belum beranjak dari angka 30-an, meski tahun 2019 lalu sempat tembus di angka 40. Namun jika dirata-rata CPI Indonesia tahun 2014-2021 hanya berada di angka 37,1. Lagi-lagi skor CPI berada di bawah negara-negara Asean.

Kinerja ini selain belum ideal, juga jauh dari ekpektasi pemerintah. Apalagi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2018, ketuanya Agus Rahardjo, pernah sesumbar untuk mengerek CPI ke angka 50. Angka yang menurut catatan Bisnis sempat membuat Jokowi kaget karena angkanya dianggap terlalu tinggi.

Kekagetan Jokowi rupanya terbukti dengan stagnasi skor indeks persepsi korupsi yang 'nyaman' berada di kisaran 37 persen. 

Kendati terjadi stagnasi, ada beberapa pengungkapan kasus korupsi pada masa pemerintahan Jokowi yang perlu diapresiasi. Pengungkapan korupsi Jiwasraya hingga Asabri adalah dua contoh keberhasilan pengungkapan skandal korupsi yang nilai kerugiannya mencapai puluhan triliun rupiah. 

Namun demikian, pengungkapan kasus-kasus besar itu tidak cukup tanpa dibarengi dengan upaya lain untuk mencegah praktik korupsi terjadi. Penegakan hukum yang tanpa pandang bulu dan hukuman berat bagi koruptor mungkin akan memperbaiki indeks persepsi korupsi, dengan langkah ini pula indeks kebahagiaan Indonesia bisa meningkat jauh dari yang dicapai saat ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper