Bisnis.com, JAKARTA -- "Tax the rich, feed the poor,' adalah penggalan lirik dalam lagu I'd Love To Change the World milik band rock blues asal Inggris Ten After Years. Lagu ini popular pada dekade 1970-an, berkisah tentang kekacauan dunia akibat ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi.
Kendati telah berumur lebih dari empat dasawarsa, penggalan lirik itu masih relevan dengan kondisi saat ini. Ketimpangan masih terus terjadi. Jurang antara yang kaya dan miskin juga semakin dalam.
Bank Dunia pada tahun 2015 lalu, pernah menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia selama 15 tahun terakhir hanya dinimati oleh 20 persen populasi. Itu artinya, 80 persen populasi lainnya belum memperoleh manfaat dari proses pembangunan ekonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah selama ini.
Data dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) bahkan menunjukkan kondisi yang lebih pelik lagi. Dalam laporan kinerjanya yang dipublikasikan pada tahun 2019 lalu, mereka mencatat bahwa 1 persen populasi di Indonesia menguasai 50 persen aset nasional.
Apabila aset nasional dimaknai sebagai Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada tahun 2019 mencapai 15.833,9 triliun, 1 persen populasi atau sekitar 2,7 juta orang tersebut menguasai aset senilai Rp7.916,9 triliun. Artinya 50 persen lainnya diperebutkan oleh 99 persen populasi.
Kondisi itu jelas tidak ideal dan menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan negara untuk mengatasi ketimpangan belum berlangsung optimal. Padahal, dasar dan konstitusi negara jelas menekankan tentang prinsip keadilan bagi seluruh warga negara.
Baca Juga
Pajak dan Ketimpangan
Salah satu instrumen yang diberikan undang-undang kepada pemerintah untuk mengatasi ketimpangan adalah pajak. Pasalnya pajak, selain berperan sebagai sumber utama penghasilan negara, juga merupakan instrumen untuk melakukan redistribusi pendapatan.
“Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan….dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” demikian bunyi UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Orang yang memiliki penghasilan lebih tinggi seharusnya membayar pajak yang lebih banyak. Sebaliknya, orang miskin atau yang memiliki pendapatan rendah mendapatkan manfaat dari pembayaran pajak-pajak orang kaya tersebut.
Namun yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya, struktur penerimaan pajak masih timpang. Orang kaya justru menyumbang pajak lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok lainnya, karyawan misalnya.
Data penerimaan pajak per Oktober 2022 menunjukkan bahwa kontribusi orang kaya, yang bisa dilihat dari penerimaan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi, hanya berkontribusi 0,7 persen atau sekitar 10,7 triliun dari total realisasi senilai Rp1.448,2 triliun.
Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi kelompok karyawan (PPh 21). Kontribusi penerimaan PPh 21 jika dibulatkan mencapai 10 persen dari total realisasi penerimaan pajak Oktober atau sekitar 144,8 triliun.
Ketimpangan antara penerimaan pajak karyawan dengan orang kaya ini secara ekstrem bisa diartikan bahwa kelompok karyawan ikut menyubsidi orang kaya, karena penerimaan pajak dari sektor ini lebih tinggi dibandingkan kelompok orang pribadi.
Padahal jika menggunakan benchmark negara-negara OECD, seharusnya penopang penerimaan pajak jelas bukan dari karyawan atau korporasi, tetapi personal income tax atau PPh orang pribadi. Rata-rata kontribusi penerimaan PPh Op di negara OECD ke penerimaan pajak mencapai 24 persen dan corporate income tax hanya di kisaran 8 persen.
Sementara jika mengambil benchmark di negara Asia Tenggara, Singapura bisa menjadi contoh yang paling ideal. Struktur penerimaan pajak di Singapura sebenarnya tidak jauh dengan Indonesia. PPh badan menjadi penopang utama pendapatan dengan kontribusi 30 persen. Namun di negeri jiran tersebut, kontribusi PPh Op mampu mencapai 23 persen dari total penerimaan pajak.
Sedangkan di Indonesia, PPh Op seperti telah diulas di atas hanya berkontribusi 0,7 persen atau paling pol mentok 1,1 persen dari total realisasi pajak. Pemerintah boleh berdalih misalnya mengatakan bahwa cakupan personal income tax atau PPh Op menjangkau pajak karyawan. Namun demikian, meski angka PPh OP dan PPh 21 (Karyawan) digabungkan kontribusinya ke penerimaan pajak juga masih sangat rendah. Hanya 10,6 persen.