Bisnis.com, JAKARTA - Dugaan gangguan ginjal akut pada anak anak di Indonesia akibat konsumsi obat sirop kian meluas dan jumlah korban yang berhasil teridentifikasi juga makin bertambah. Berdasarkan penelitian dan penyelidikan Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa gangguan ginjal akut progresif atipikal disebabkan oleh paparan zat pelarut pada obat sediaan sirop.
Sesuai rilis Kementerian Kesehatan kondisi ini merupakan kondisi yang serius karena telah mengakibatkan lebih dari 150 kasus kematian pada anak dan lebih dari 400 kasus gangguan ginjal anak di sekurangnya 22 Provinsi. Kasus perlindungan konsumen yang melibatkan masyarakat luas di Indonesia dapat dikatakan belum mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.
Perlu menjadi catatan bahwa pada 2018 yang lalu telah terjadi kasus yang hampir mirip, kalau itu dikenal dengan kasus ‘susu kental manis’ versus ‘cairan kental manis’. Kala itu ditemukan fakta setelah sekian lama susu kental manis diproduksi bahwa susu kental manis yang selama ini beredar tidak mengandung padatan susu, hanya mengandung lemak susu 8 persen dan protein 6,5 persen sehingga tidak dapat dikualifikasikan sebagai susu tetapi hanya dapat didefinisikan sebagai cairan kental manis yang tidak dapat dikonsumsi secara tunggal.
Langkah BPOM kala itu menerbitkan Surat Edaran Nomor HK. 06.5.51.511.05.18.2000/2018 bukan merupakan langkah yang solutif bagi perlindungan konsumen, mengingat dalam edaran tersebut hanya mengatur dari sisi advertisement yang diharapkan akan mampu membangun perspektif baru akan susu kental manis.
Perlindungan konsumen yang melibatkan masyarakat luas di Indonesia kembali terulang yakni dalam kasus obat sirop. Kasus ini jelas menjadi kasus perlindungan konsumen yang bahkan lebih serius dari kasus konsumen susu kental manis yang tecermin dari diterbitkannya Surat Edaran (SE) Nomor SR.01.05/III/3461/2022 tentang Penyelidikan Epidemiologi Kasus Gangguan Ginjal Akut Atipikal Pad Anak serta Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Nomor HK.02.02/I/3305/2022 tentang Tata Laksana dan Manajemen Klinis Gangguan Ginjal Akut Atipikal Pada Anak.
Dua aturan tersebut menunjukkan betapa seriusnya dampak kasus obat sirop, tetapi kedua aturan itu lebih bersifat penanganan kasus obat sirop. Mengacu dari dua kasus besar perlindungan konsumen yang terjadi secara berurutan dalam beberapa tahun terakhir hal ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan agar konsumen tidak menjadi korban oleh instansi terkait dalam hal ini kementerian kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Baca Juga
Michael Holzhauser (2022), ahli hukum perlindungan konsumen Uni Eropa menguraikan bahwa pemerintah dan instansi terkait harus memprioritaskan perlindungan konsumen pada produk yang berdampak luas seperti obat dan makanan karena dikonsumsi secara luas. Demikian pula penegakan hukum pada kasus-kasus konsumen yang berdampak luas harus dilaksanakan dengan prioritas yang tinggi untuk menciptakan efek jera bagi pelaku usaha yang memiliki intensi merugikan konsumen atau untuk menghindari kelalaian pelaku usaha yang berdampak serius.
Saat ini guna menghindari terus berulangnya kasus perlindungan konsumen khususnya yang berkaitan dengan konsumen obat dan makanan maka ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, upaya preventif yakni BPOM dan Kemenkes harus menyaring kualitas obat dan makanan yang layak diberikan izin untuk beredar secara luas di masyarakat. Demikian pula BPOM dan Kemenkes harus mengoptimalkan agenda pengawasan pada barang (sediaan obat dan makanan) yang diproduksi pelaku usaha.
Jika pemerintah dalam hal ini BPOM dan Kemenkes telah memberikan izin untuk peredaran obat dan makanan serta telah melakukan pengawasan sesuai kewenangannya maka jika terjadi kasus perlindungan konsumen maka BPOM dan Kemenkes juga harus turut bertanggung jawab atas terjadinya kasus tersebut mengingat hal itu artinya ada kelalaian pada prosedur pemberian izin dan pengawasannya.
Kedua, upaya penegakan hukumnya (enforcement) adalah dalam kasus obat sirop ini ada dua model penegakan hukum yang dapat dilakukan untuk menimbulkan efek jera pada pelaku usaha jika terbukti merugikan masyarakat luas untuk menciptakan efek jera agar tidak berulang kembali kasus serius sejenis. Upaya melalui jalur pidana dapat dilakukan melalui Pasal 19 UU No. 8/1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK).
Khususnya dalam Pasal 19 ayat (4) UUPK menjelaskan bahwa sekali pun ada pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) Pasal 19 UUPK tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. Artinya dalam hal ini baik masyarakat korban, Kemenkes dan BPOM harus berani menginisiasi proses pidana guna memastikan perlindungan kepada konsumen serta bagi pelaku usaha agar jelas bahwa hanya produk sirop tertentu yang melakukan pelanggaran sehingga tidak semua pelaku usaha, khususnya dengan terungkapnya kasus ini maka bagi pelaku usaha yang tidak melanggar dan tidak lalai menjadi tidak terdampak penjualan dan peredaran barangnya.
Demikian pula Pasal 19 UUPK ini jelas menyangkut ‘product liability’ bagi pelaku usaha artinya selain dapat diselesaikan melalui badan penyelesaian sengketa konsumen (BPSK) maupun tuntutan pidana maka ‘product liability’ dapat ditegakkan melalui gugatan class action (gugatan perwakilan kelompok) mengingat jumlah korban dalam kasus obat sirop ini cukup banyak, meskipun tantangan dalam gugatan class action ini adalah membuktikan adanya kerugian, gejala serta dampak yang sama dari pelaku usaha yang sama mengingat obat sirop yang dikonsumsi bisa saja berbeda.