Bisnis.com, JAKARTA - Juru Bicara Tim Sosialisasi RKUHP Kemenkumham Albert Aries mengklaim pasal penghinaan presiden di Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) berguna untuk melindungi orang banyak, sebab deliknya aduan.
Albert menjelaskan pasal 134 KUHP yang ada sekarang mengatur penghinaan presiden dalam delik biasa. Akibatnya, simpatisan atau relawan dapat melaporkan siapa saja yang mereka anggap menghina presiden.
Sedangkan, pasal 218 tentang penghinaan presiden dalam draf RKUHP terbaru, deliknya aduan, sehingga hanya presiden itu sendiri yang bisa mengadukan penghinaannya.
"Hanya presiden yang bisa mengadukan adanya penghinaan tersebut, karena itu memang presiden tidak pernah diwajibkan menggunakan haknya," ujar Albert dalam diskusi #SemuaBisaKena: Draf RKUHP Telah Dibuka, Sudahkah Suara Kita Terdengar? di Auditorium Pusgiwa UI, Depok, Senin (18/7/2022).
Dia melanjutkan, jika presiden sampai terbawa perasaan dan mengadukan penghinaannya maka Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan apakah betul ada penghinaan, atau malah hanya kritik untuk kepentingan umum. Dalam draf RKUHP terbaru dijelaskan apa yang dimaksud kritik dan apa yang dimaksud penghinaan, tak seperti pasal penghinaan presiden yang ada sekarang.
Selain itu, Albert mengatakan pasal 218 juga menurunkan ancaman pidana, yang sebelumnya maksimal 6 tahun jadi maksimal 3 tahun 6 bulan.
Meski begitu, Koordinator Bidang Sosial Politik BEM FH UI Timothy Sambuaga mengatakan pasal penghinaan presiden tak mengindahkan asas kesamaan di mata hukum, seperti yang diatur dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945. Dia khawatir presiden pada masa mendatang dapat menggunakan pasal tersebut untuk mempidanakan lawannya.
"Gawatnya, [pasal penghinaan presiden] akan membuka jalan untuk otoriter-otoriter baru ke depannya," jelas Timothy.
Menanggapi hal tersebut, Albert tak setuju jika presiden disamakan dengan warga biasa. Menurutnya, keadilan itu menyamakan hal yang sama dan membedakan hal yang memang beda.