Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai, langkah pemerintah menetapkan batasan produksi yang tegas untuk membedakan antara perusahaan rokok besar, dengan perusahaan kecil pada segmen kelembak kemenyan (KLM) dapat diberlakukan juga pada segmen rokok biasa, terutama buatan mesin.
Menurutnya, hal ini dikarenakan sebagian besar rokok buatan mesin yang beredar di Indonesia saat ini diproduksi oleh perusahaan besar dan asing, apalagi kebijakan tarif dan struktur cukai rokok KLM yang ditetapkan pemerintah kini lebih proporsional. Kebijakan ini dapat mengendalikan konsumsi, mengoptimalkan penerimaan negara, serta membedakan perusahaan besar dan kecil.
“Selama ini, rokok jenis itu harga cukainya rendah sekali,” katanya lewat rilisnya, Jumat (15/7/2022).
Sekadar informasi, Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK. 010/2022 menetapkan kelompok tarif cukai yang lebih tinggi (setara dengan sigaret kretek tangan) pada produk KLM yang diproduksi oleh perusahaan yang produksinya melebihi 4 juta batang. Hal ini bertujuan melindungi perusahaan rokok KLM skala rumahan.
Selain itu, dengan kebijakan ini, pemerintah secara tidak langsung telah mengkategorikan perusahaan yang memproduksi minimal 4 juta batang rokok KLM per tahun sebagai pabrikan besar. Sementara yang memproduksi di bawah itu tergolong perusahaan kecil atau rumahan.
Sama halnya dengan rokok KLM, Faisal melanjutkan kebijakan batasan produksi pada segmen rokok biasa juga perlu ditinjau. Sejak 2017, batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa adalah 3 miliar batang per tahun, mengacu kepada batasan rokok mesin. Batasan ini dinilai membuka celah bagi perusahaan besar dan asing untuk menikmati tarif cukai murah.
Baca Juga
Sebelumnya, hingga 2016, batasan produksi tertinggi untuk rokok mesin yang tidak padat karya adalah 2 miliar batang per tahun.
“Makanya perlu diawasi dan dilihat celah yang memungkinkan perusahaan bermanuver dalam pembatasan itu. Jadi, kalau misalnya batasan 3 miliar batang, perusahaan-perusahaan besar bisa mengirit produksinya supaya tidak sampai batas pagunya atau batas threshold-nya. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah,” katanya.
Faktanya, dia mengatakan bahwa praktik ini memungkinkan perusahaan besar dan asing masuk ke golongan yang lebih rendah dengan tarif cukai yang lebih murah, padahal seharusnya perusahaan itu mampu membayar tarif cukai yang tinggi sesuai golongannya.