Bisnis.com, JAKARTA — Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebut buzzer atau pasukan siber yang punya kepentingan politik sebagai bentuk ancaman demokrasi di era digital, khususnya menjelasng Pemilu 2024.
Damar mengatakan represi digital oleh buzzer membuat warganet merasa kurang aman, terutama kaum marjinal atau lemah. Menurutnya, buzzer adalah hama dari demokrasi.
“Buzzer itu perlu kita dudukkan dalam bentuk pelanggaran hak digital, dia [pelanggarannya] dalam bentuk represi digital yang mempengaruhi bentuk informasi,” ungkap Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto dalam webinar Ekskalasi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dampak dari Digitalisasi Demokrasi?, Senin (11/7/2022).
Oleh karena itu pemerintah harus serius membasmi buzzer jika ingin merawat demokrasi. Terutama, jelas Damar, tensi politik semakin memanas jelang Pemilu 2024. Menurutnya, jika demokrasi di media sosial tak sehat maka demokrasi di bilik suara juga tak sehat.
“Ketika masyarakat merasa tidak aman menyampaikan pendapat terutama berkaitan dengan aspirasi politik karena keadaan buzzer, maka bisa kita pastikan Pemilu 2024 bukanlah Pemilu yang cukup mereprentasi demokrasi,” jelasnya.
Selain itu, Damar juga mengingatkan agar warganet dan organisasi masyarakat sipil mulai mengedukasi diri terkait keamanan digital. Sebab, semakin dekat dengan tahun politik, semakin besar resiko warganet yang kritis mengalami serangan digital.
Baca Juga
“[Takutnya] kita justru pihak yang dijadikan sasaran [serangan digital] hanya karena kita misalnya mengangkat rekam jejak dari calon presiden yang diidolakan orang tapi rekam jejak HAM-nya buruk sekali,” ujarnya.