Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

RUU KIA, Pengamat Minta Cuti Hamil dan Melahirkan Dilakukan Berjenjang

Akademisi mengusulkan persoalan cuti hamil dan melahirkan dalam RUU KIA agar dilakukan cuti secara berjenjang.
Ilustrasi cuti melahirkan/Istimewa
Ilustrasi cuti melahirkan/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA – DPR telah resmi mengusulkan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) sebagai RUU inisiatif DPR. Langkah DPR ini mendapat respons positif dari publik termasuk dari kalangan akademisi.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Abdul Halim mengusulkan persoalan cuti hamil dan melahirkan dalam RUU KIA agar dilakukan cuti secara berjenjang dengan kualifikasi seperti saat melahirkan anak pertama diberikan fasilitas cuti maksimal selama enam bulan dengan memperoleh fasilitas tunjangan melahirkan serta asupan gizi baik untuk ibu maupun anak.

“Sedangkan anak kedua dengan fasilitas cuti tiga bulan dengan fasilitas tunjangan melahirkan dan tambahan gizi dan susu untuk ibu dan anak, sedangkan anak ketiga cuti tiga bulan dengan tanpa tunjangan cuti dan tetap mendapatkan uang gizi dan susu bagi ibu dan anak ,” kata Halim mencontohkan dalam keterangan tertulisnya, Senin (4/7/2022).

Menurut dia, RUU KIA merupakan implementasi dari amanat UUD 1945. RUU KIA diakuinya merupakan perwujudan implementasi UUD 1945 khususnya di Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28H ayat (1),” ujar Halim.

Dia menyebutkan dalam Pasal 28B ayat (1) secara tegas konstitusi memberi perhatian secara khusus tentang hak anak dalam memperoleh kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak mendapat pelrindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

“Sedangkan di Pasal 28H ayat (1) dikaitkan dengan kesejahteraan secara umum termasuk ibu dan anak di dalamnya,” ucap Doktor hukum keluarga ini.

Terkait dengan norma dalam RUU KIA, Halim mengusulkan sejumlah gagasan agar keberadaan RUU KIA ini tidak setengah hati. Menurut dia, keberadaan RUU KIA menjadi momentum keberpihakan negara untuk memberikan hak-hak ibu dan anak dalam memberi kesejahteraan.

“Kami mendorong jangan setengah hati dalam merumuskan norma untuk kepentingan kesejahteraan ibu dan anak,” tegasnya.

Gagasan tersebut, menurut Halim mengadopsi norma yang terjadi di sejumlah negara yang membagi dengan tiga kelompok. Kelompok pertama yang memberikan cuti minimal atau lebih enam bulan. Kelompok kedua, negara yang mengatur maksimal cuti tiga bulan. Kelompok ketiga, cuti di bawah dua bulan antara 52 sampai 42 hari.

“Kelompok pertama seperti Kroasia, 406 hari, disusul Albania, Australia, UK, Bosnia Herzegovina, Serbia, Montenegro masing-masing 365 hari, Norwegia 322 hari, Bulgaria 227 hari, dan Republik Crezh 196 hari dan masing-masingnya tetap mendapat gaji selama cuti melahirkan,” sebut Halum.

Dia berharap keberadaan RUU KIA ini dapat memberi aspek pengawasan lebih konkret saat pemberlakuannya kelak. Ia mencontohkan keberadaan Pasal 32 PP No 33 Tahun 2012 tentang Air Susu Ibu Eksklutif yang menyebutkan kewajiban tempat bekerja menyiapkan ruang laktasi bagi ibu untuk menyusui buah hatinya.

“Nyatanya pemenuhan hak ASI eksklusif di kalangan ibu bekerja masih jauh panggang dari api. Baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial kurang mendukung para ibu bekerja untuk memberikan ASI sehingga memberi dampak negatif bagi ibu bekerja itu sendiri maupun anaknya,” kata Halim.

Dia menyebutkan ruang publik belum ramah bagi ibu menyusui. Akibatnya tak sedikit ibu menyusui memompa ASI di tempat yang tak layak.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper