Kasus Sawit Riau
Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tampaknya telah menetapkan tersangka korupsi atas nama Surya Darmadi. Dia adalah salah satu bos perkebunan dan pengolahan kelapa sawit di Indonesia.
Hal itu menyusul Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) No B/203/DIK.00/23/04/2019 atas Surya Darmadi. SPDP tersebut dilayangkan KPK pada Kamis (4/4/2019) lalu.
Sebelum melayangkan SPDP, lembaga antirasuah telah meneken Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Sprin.Dik/28/DIK.00/01/03/2019 pada Jumat (29/3/2019).
Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, pengumuman tersangka Surya Darmadi memang belum dilakukan karena beberapa alasan.
Surya Darmadi adalah Bos Darmex Agro Group, salah satu korporasi terbesar penghasil minyak kelapa sawit, dengan memiliki sejumlah anak perusahaan.
Mantan Komisaris Bank Kesawan, yang kini berganti nama menjadi Bank QNB itu memang pernah berurusan dengan KPK pada medio 2014 lalu.
Saat itu, kasus yang membelitnya adalah dugaan suap revisi alih fungsi lahan Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan yang telah menjerat Gubernur Riau saat itu, Annas Maamun.
Annas divonis bersalah 6 tahun penjara karena terbukti menerima suap dari pengusaha sawit senilai US$166,100 dan Rp500 juta terkait alih fungsi lahan. Namun, saat mengajukan kasasi, Mahkamah Agung malah memperberatnya menjadi 7 tahun.
Adapun taipan Surya Darmadi memang pernah diperiksa oleh KPK untuk menjadi saksi dalam kasus itu. Namun, pada akhirnya dia dapat lolos dari jeratan hukum.
Dalam hal ini, Surya Darmadi diduga telah menyuap Anas Rp3 miliar dari janji Rp8 miliar seperti tuntutan JPU KPK agar PT Dulpa Palma Nusantara (anak usaha Darmex Group) melalui empat anak perusahaannya dapat merubah status kawasan hutan seluas 18.000 hektare menjadi Area Penggunaan Lain (APL) agar legal ditanami sawit.
Orang terkaya ke-28 Indonesia dalam catatan Forbes dengan nilai kekayaan US$1,45 miliar pada 2018 itu juga pernah dicegah KPK selama 6 bulan sejak 5 November 2014.
"Terkait dengan pokok perkaranya, belum bisa kami sampaikan saat ini sampai pengumuman resmi yang lebih lengkap," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada Bisnis, Minggu (28/4/2019).
Gugatan Praperadilan
Tak terima soal penetapan tersangka KPK, Surya Darmadi buru-buru mengajukan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sepekan setelah surat SPDP dikirimkan, Jumat (12/4/2019).
Dia mempersoalkan perkara sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh termohon dalam hal ini KPK. Selaku pemohon, Surya Darmadi menggugat KPK dengan Nomor Perkara34/Pid.Pra/2019/PN JKT.SEL.
Dalam petitum permohonan, setidaknya ada 5 poin yang disampaikan Surya Darmadi. Petitum itu di antaranya adalah mempersoalkan penetapan tersangka oleh KPK yang dinilai tidak sah dan batal demi hukum.
"Menyatakan batal/batal demi hukum dan tidak sah penetapan tersangka terhadap Surya Darmadi (pemohon) yang dikeluarkan oleh termohon," begitu bunyi petitum permohonan dikutip, Minggu (28/4/2019).
Hal itu berdasarkan Surat No: B/203/DIK.00/23/04/2019 tanggal 4 April 2019 perihal: Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan dengan segala akibat hukumnya.
Bunyi petitum selanjutnya memerintahkan termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap Surya Darmadi berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor Sprin.Dik/28/DIK.00/01/03/2019 tanggal 29 Maret 2019.
"Menyatakan batal dan tidak sah segala penetapan yang telah dikeluarkan oleh termohon terhadap Surya Darmadi (Pemohon)," tulis petitum.
Bunyi lainnya adalah menghukum termohon untuk membayar segala biaya yang timbul dalam perkara ini. "Apabila Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa permohonan aquo berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)," tutup petitum tersebut.
Febri mengaku telah menerima surat dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terkait praperadilan tersebut. Sidang praperadilan perdana akan digelar pada Senin (29/4/2019).
Akan tetapi, Biro Hukum KPK disebutnya meminta penjadwalan ulang. "Biro Hukum telah mengirimkan surat permintaan penundaan sidang pada pengadilan," kata Febri.
Dia tak menjelaskan secara detail kapan dan apa alasan penjadwalan ulang tersebut.