Bisnis.com, JAKARTA -- Usia Partai NasDem boleh seumur jagung. Namun strategi politik partai besutan Surya Paloh itu patut dijunjung. NasDem telah berubah dari partai gurem menjadi simpul politik, yang gerak-geriknya sukses membuat gugup partai politik dan politikus mapan.
NasDem saat ini, boleh dibilang sebagai kuda hitam dalam konstelasi politik menuju Pemilu 2024. Mereka telah bermanuver jauh-jauh hari sebelum tahun politik dimulai. Pada saat partai lain belum move on dari Pilpres 2019, NasDem justru melakukan manuver politik yang cukup apik.
Ketua Umum NasDem Surya Paloh, misalnya, tiba-tiba bertemu Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di Kantor NasDem. Peristiwa itu terjadi pada Juli 2019. Pertemuan Surya Paloh dan Anies, memunculkan spekulasi bahwa NasDem berminat meminang Anies Baswedan sebagai calon presiden (capres).
Spekulasi itu tentu tidak bisa dianggap sebagai ucapan jempol semata. Pasalnya, sejak momen itu, peta politik di DKI Jakarta mengalami pergeseran. NasDem yang semula 'oposisi' Anies, berubah muka. Politikus NasDem di DPRD DKI mulai jarang mengkritisi kebijakan pemerintahan Anies.
Malah kalau melihat konstelasi politik belakangan ini, NasDem termasuk partai yang menjadi backing Anies saat interpelasi Formula E Jakarta digulirkan oleh PDIP dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Tak hanya itu, politikus NasDem Ahmad Sahroni, bahkan ditunjuk sebagai ketua penyelenggara ajang balapan mobil listrik tersebut.
Tetapi Anies tentu bukan satu-satunya kandidat yang dilirik oleh NasDem. Konon, partai ini terbuka untuk semua kandidat, meskipun kalau mau ditilik dari informasi yang banyak beredar serta melihat animo kader NasDem di sejumlah daerah, nama Anies masih cukup diperhitungkan.
Baca Juga
Anies bagaimanapun menjadi magnet elektoral bagi NasDem. Selain populer dan memiliki elektabilitas selangit, Anies adalah pembeda. Dia bukan bagian dari rezim yang berkuasa saat ini.
Bahkan jika melihat gestur politiknya beberapa waktu lalu, Anies terkesan seperti bagian dari oposan pemerintah pusat, yang sebenarnya NasDem juga ada di dalamnya.
Soal elektabilitas, potensi elektoral Anies sebelas dua belas dengan Ganjar Pranowo. Nama Gubernur Jawa Tengah itu sempat dikaitkan dengan NasDem. Konon, namanya masuk radar tim capres pencapresan NasDem, meskipun dari sisi peluang, potensi NasDem mengusung Ganjar agak penuh jalan berliku.
Ganjar sepeti banyak diketahui adalah kader PDIP. Meskipun belakangan ini hubungannya dengan elite PDIP tak akur, Ganjar menegaskan dirinya tetap setia sebagai kader partai banteng.
Artinya, kalau NasDem ingin merekrut atau mencalonkan Ganjar dalam Pilpres 2024, langkah itu akan menimbulkan gejolak politik, setidaknya hubungannya dengan PDIP dan Megawati Soekarnoputri bisa semakin renggang.
Sebaliknya, jika mengusung Anies, NasDem bakal lebih leluasa, apalagi elektabilitas Anies tak kalah jauh dari Ganjar. NasDem bisa dengan mudah memperoleh mitra koalisi. Terutama dari partai politik yang sampai saat ini masih mencari dan belum menentukan arah koalisi.
Mungkin ini mungkin ya, bisa jadi benar bisa jadi salah, karena alasan tersebut, NasDem batal melaksanakan konvensi capres. Selain bisa senasib dengan konvensi Partai Demokrat yang gagal total, Nasdem juga bakal sulit mencari mitra koalisi.
Langkah untuk membatalkan konvensi dan memilih menentukan rekomendasi capres lewat mekanisme Rapat Kerja Nasional alias Rakernas yang berlangsung 15 Juni sampai 17 Juni mendatang sejatinya adalah strategi paling realistis.
Apalagi dengan kursi parlemen 20 persen alias di bawah presidential threshold, sangat mustahil bagi NasDem untuk mengusung capres sendiri. Pilihan paling realistis, mereka membangun koalisi sepaket dengan capres. Strategi ini akan jauh lebih menguntungkan, efektif dan secara matematis berdampak positif bagi suara NasDem di Pemilu 2024.