Bisnis.com, JAKARTA - Dalam perjalanan pertamanya ke Asia sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) 22 Mei 2022, Joe Biden untuk pertama kalinya memberi peringatan paling keras kepada Beijing bahwa Washington akan membela Taiwan secara militer jika terjadi serangan dari China.
Komentar Biden, yang membandingkan potensi serangan China di Taiwan dengan invasi Rusia ke Ukraina, cukup menarik untuk disimak. Pasalnya, pernyataan itu menyimpang dari kebijakan "ambiguitas strategis" Washington sejak beberapa dekade terakhir.
Tidak hanya itu, sikap AS tersebut ampaknya akan meningkatkan kemungkinan bentrokan militer secara nyata antara pasukan AS dengan China. Bukan tidak mungkin keterlibatan AS dan sekutunya bisa memicu Perang Dunia III sebagaimana yang banyak dikhawatirkan orang setelah Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.
Karena itulah timbul pertanyaan: Jika China mencoba merebut Taiwan, apakah Amerika Serikat dan sekutunya mampu menghentikannya? Jawaban yang paling mengkhawatirkan adalah AS dan sekutunya termasuk Jepang, tidak bisa menghentikannya.
Para analis mengatakan China memiliki lebih banyak pasukan, lebih banyak rudal dan lebih banyak kapal daripada yang bisa dikerahkan Taiwan maupun AS untuk berperang. Fakta itu berarti bahwa jika China benar-benar bertekad untuk mengambil pulau itu, maka itu sangat bisa.
Karena itulah ada kekhawatiran dua kekuatan terbesar dunia tersebut akan berhadapan kalau China menyerang Taiwan.
Kerugian Sangat Besar
Hanya saja, ada hal yang perlu diingat dan sangat mengkhawatirkan. Meskipun China kemungkinan besar bisa menang, namun setiap kemenangan akan dibayar dengan harga yang sangat mahal. Artinya, perang tersebut akan banyak memakan korban dan berdarah-darah, baik bagi Beijing maupun pihak musuh-musuhnya.
Banyak analis mengatakan invasi ke Taiwan akan lebih berbahaya dan kompleks daripada pendaratan pasukan sekutu saat insiden D-Day di Prancis dalam Perang Dunia II. Dokumen pemerintah AS menunjukkan bahwa jumlah korban tewas, terluka dan hilang dari kedua belah pihak selama hampir tiga bulan serangan di Normandia hampir setengah juta tentara.
Salah satu faktor penyebab akan banyaknya korban invasi adalah soal kepadatan penduduk Taiwan.
Penduduk Taiwan yang berjumlah 24 juta jiwa memadati kawasan perkotaan seperti Ibu Kota Taipei, dengan rata-rata 9.575 jiwa per kilometer persegi. Bandingkan dengan Mariupol, Ukraina. Kota yang hancur dalam perang dengan Rusia itu hanya dihuni rata-rata 2.690 orang per kilometer persegi.
Terlepas dari keunggulan numeriknya dalam kekuatan berbasis laut, udara, dan darat di kawasan itu, China juga memiliki kelemahan di setiap arena perang. Hal itu akan memaksa Beijing untuk berpikir panjang dan keras tentang apakah sebuah invasi sepadan dengan biaya pengorbanan manusia yang luar biasa.
Artinya, setiap kelemahan Beijing akan membuka peluang banyak korban tewas karena Taiwan, atas bantuan AS dan sekutu, akan memanfaatkan setiap kelemahan tersebut dengan menggunakan persenjataan yang canggih. Apalagi, akhir-akhir ini AS semakin meningkatkan bantuannya kepada Taiwan dengan menjual senjata-senjata terbarunya termasuk suku cadang untuk kapal Angkatan Laut Taiwan senilai US$120 juta.
Menteri Pertahanan China Wei Fenghe pada Jumat (10/6/2022) di Singapura bersuara keras kepada mitranya Menhan Amerika Serikat (AS) Lloyd Austin tentang penjualan paket senjata AS terbaru untuk Taiwan.
Dia memperingatkan kemungkinan konflik atas pulau berpemerintahan sendiri yang diklaim China sebagai wilayahnya itu. Kepada mitramya itu dia mengatakan bahwa penjualan senjata sangat merusak kedaulatan dan kepentingan keamanan China.
Wei menegaskan militer China akan dengan tegas menghancurkan setiap skenario kemerdekaan Taiwan dan dengan tegas menjaga reunifikasi China.