Bisnis.com, JAKARTA -- “Saya tahu Pak Jokowi itu surveinya tidak pernah ada yang bisa menyaingi. Tapi saya juga bilang ke beliau, hei jangan mongkok dulu lho kamu. Karena yang dibutuhkan Indonesia ini bukan urusan survei tinggi [atau] survei rendah, bisa enggak kamu jadi pemimpin bagi republik yang besarnya seperti ini.”
Kalimat itu disampaikan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri sekitar 8 tahun silam dalam satu sesi wawancara dengan Najwa Shihab.
Mongkok dalam terminologi Jawa artinya bangga. Megawati mengingatkan Jokowi supaya tidak terjebak dalam euforia elektabilitas tinggi.
Jelang Pemilu 2014, sosok Joko Widodo (Jokowi) adalah ‘rising star’ dalam peta politik nasional. Pasalnya, hanya dalam kurun kurang dari 10 tahun, Jokowi yang semula dikenal sebagai pengusaha mebel berhasil menjadi tokoh politik yang sangat diperhitungkan.
Dia memulai karier politik sebagai Wali Kota Surakarta pada 2005, lalu terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta pada 2012, dan menjabat sebagai Presiden ke-7 RI pada 2014. Besarnya dukungan terhadap Jokowi kala itu memunculkan fenomena politik baru.
Popularitas Jokowi melejit dan mengungguli elite pemilik singgasana partai politik mapan seperti Aburizal Bakrie (Partai Golkar), Hatta Rajasa (Partai Amanat Nasional), hingga Prabowo Subianto (Gerindra). Jokowi bahkan jauh lebih popular dibandingkan Megawati.
Baca Juga
Meski popularitas Jokowi sebagai kandidat presiden tinggi dalam berbagai hasil survei saat itu, Megawati tidak langsung memberikan restu. Proses pencalonan Jokowi tidak sak jek sak nyet alias instan, tetapi melalui jalan yang berliku karena sempat ditolak elite PDIP yang ingin trah Soekarno maju pada Pilpres 2014.
Megawati baru menandatangani surat dukungan kepada Jokowi sebagai calon Presiden 2014 pada Maret 2014 atau 1 bulan sebelum Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 digelar.
Situasi 8 tahun silam, sejatinya masih cukup relevan jika ditarik dalam suasana politik terkini. Megawati dihadapkan pada hasil survei sejumlah lembaga yang menempatkan kadernya, Ganjar Pranowo, sebagai tokoh yang memiliki elektabilitas tinggi sebagai kandidat presiden 2024.
Bedanya, dukungan kepada Ganjar memang belum sekolosal seperti halnya dukungan publik kepada Jokowi pada 2014.
Elektabilitas Ganjar masih bersaing dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Hasil survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis pada 26 April 2022, menempatkan Ganjar di posisi teratas dengan elektabilitas 26,7 persen, lalu disusul Prabowo Subianto sebesar 23,9 persen, dan Anies Baswedan 19,4 persen.
Sementara itu, rilis Charta Politika terhadap elektabilits 10 nama, posisi teratas yakni Ganjar Pranowo (29,2 persen), Prabowo Subianto (23 persen), dan Anies Baswedan (20,2 persen).
Megawati tentu tidak menutup mata dengan situasi terkini, terutama dari hasil survei. Hanya saja, berangkat dari pernyataan yang pernah disampaikannya, Mega tidak sepenuhnya menjadikan hasil survei sebagai patokan utama untuk suksesi kepemimpinan.
Bagi Megawati, republik ini membutuhkan sosok yang lebih dari sekadar Presiden. Dia lantas menceritakan bagaimana ayahandanya, Soekarno, mendapat kepercayaan sebagai Presiden ke-1 RI.
“Bung Karno itu menjadi pemimpin dulu, bukan menjadi Presiden dulu,” kata Mega di depan Najwa Shihab.
Peluang Ganjar
Bagi Megawati dan PDIP, elektabilitas Ganjar yang tinggi tentu saja menguntungkan. Tantangannya sekarang justru di tangan Ganjar Pranowo.
Seberapa mampu Ganjar membuktikan kepemimpinannya dan komitmen sesuai dengan impian Megawati?
Ganjar Pranowo tentu tidak boleh mongkok — meminjam istilah Megawati saat mengingatkan Jokowi yang punya elektabilitas tinggi.
Kesetiaan Ganjar sebagai kader banteng moncong putih juga diuji. Dengan elektabilitas tinggi, Ganjar Pranowo sedang ‘digoda’ oleh parpol lain untuk diusung sebagai capres.
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menggulirkan wacana duet Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan sebagai capres dan cawapres 2024. Pertimbangannya, situasi polarisasi sebagai dampak politik 2014 dan 2019 masih cukup dirasakan.
Sosok Ganjar juga dipertimbangkan secara masak sebagai kandidat presiden oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bentukan Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
(Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto./Istimewa)
Nama Ganjar juga menggema saat rapat Kerja Nasional (Rakernas) Projo di Magelang, Jawa Tengah pada 21 Mei lalu yang turut dihadiri Presiden Jokowi.
Projo merupakan kelompok pendukung Jokowi militan di Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.
Selain menanti sikap PDIP dan Megawati, salah satu yang dinanti adalah sikap Jokowi terhadap sosok yang akan meneruskan estafet kepemimpinannya ke depan.
Sejak April lalu, Jokowi secara informal bertemu dengan sejumlah tokoh politik yang namanya ada di posisi teratas elektabilitas calon presiden.
Jokowi sempat bertemu dengan Gubernur DKI Anies Baswedan di pengujung Ramadan lalu. Jokowi dan Anies berbincang serius di tengah persiapan ajang balap Formula E. Jokowi juga terlihat hadir langsung saat penyelenggaraan Formula E digelar pada Sabtu (4/6/2022).
Pada saat hari pertama Idulfitri 2022, Presiden Jokowi juga menerima silaturahmi Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di Gedung Agung Yogyakarta.
Indikator Politik Indonesia menemukan data sebanyak 15,5 persen responden membaca pertemuan Jokowi dan Prabowo di Gedung Agung Yogyakarta itu memiliki agenda politik tertentu. Namun, mayoritas responden atau sebanyak 71,1 persen melihatnya sebagai silaturahmi biasa.
Lalu kehadiran Jokowi di Rakernas Projo yang juga dihadiri oleh Ganjar Pranowo, tentu saja bisa dikaitkan dengan urusan politik 2024. Dalam acara itu, Jokowi meminta Projo agar tidak tergesa-gesa untuk mengambil sikap dukungan terhadap kandidat capres.
Paling menarik tentu saja ketika Panglima TNI Andika Perkasa menjadi saksi pernikahan adik Presiden Jokowi, Idayati dengan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Andika menjadi saksi untuk pihak Anwar Usman.
Peran Andika itu juga tidak dapat dipandang sebagai saksi belaka. Nama Andika mulai banyak disebut sebagai capres potensial 2024. Di Yogyakarta, sempat muncul relawan Ganjar-Perkasa, yang merepresentasikan Ganjar Pranowo-Andika Perkasa.
Saat berada di Yogyakarta menghadiri wisuda putranya di Universitas Gadjah Mada (UGM), Andika Perkasa juga menyatakan kebanggaannya sebagai bagian dari keluarga besar Gadjah Mada (Kagama).
Kebetulan, Ketua Umum Kagama adalah Ganjar Pranowo, lalu Anies Baswedan pun juga merupakan alumnus UGM yang juga bagian dari keluarga Kagama. Presiden Jokowi pun keluarga Kagama.
Jokowi, sama halnya dengan Megawati bakal memiliki peran menentukan dalam peta perpolitikan 2024.