Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar Universitas Indonesia Irfan Maksum mengatakan 25 tahun perjalanan otonomi daerah (otda) mendapat ancaman yang hebat karena menguatnya paradigma resentralisasi.
Dia mencontohkan, dari beberapa peraturan yang ada daerah dikooptasi oleh Kementerian Dalam Negeri.
“Saat ini ada pusaran lubang hitam yang akan memakan otonomi daerah. Menteri dalam negeri sudah mengeluarkan instruksi menteri bahwa gubernur sebagai perwakilan pemerintah. Isinya, itu menempatkan gubernur sebagai instansinya menteri dalam negeri,” ujar Irfan dalam webinar bertajuk “Dua Dekade Otonomi Daerah: Problematika, Tantangan, Peluang Penguatan Menuju 2045 yang digelar ICMI, Rabu (6/4/2022).
Padahal, sebagai konsep bahwa gubernur sebagai wakil pemerintah adalah justru mengkoordinir dan mengintegrasikan instansi vertikal di lokasinya. Hal itu ada pada pasal 25 UU Nomor 22 Tahun 199 yang tidak diintegrasikan ke pasal 92.
“Pasal 92 memang isinya hanya untuk menghadapi kabupaten/kota. Ini seolah-olah gubernur sebagai wakil pemerintah justru bukan tangan kanannya Pak Jokowi tapi Pak Tito (Mendagri). Itu mendekadensi kedudukan gubernur dan itu juga bagian pusaran lubang hitam yang saya maksud,” jelas Irfan yang juga pengajar pada Departemen Ilmu Administrasi di Program Sarjana dan Program Pascasarjana UI.
Irfan menjelaskan hal tersebut terus-menerus terjadi lantaran ada di persoalan administrasi kependudukan (adminduk), sehingga membuat daerah tidak mempunyai otonomi.
Baca Juga
“Saat Covid-19 melanda dunia, resentralisasi juga melanda dunia juga. Ini bencana nasional, tapi ini diserahkan ke daerah, anehnya. Jika di negara maju konsisten dengan sentralisasi. Ini yang saya risaukan,” tuturnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Arif Satria mengatakan, bahwa undang-undang pemerintah daerah sudah mengalami perubahan beberapa kali sejak 1999.
Menurut dia, dengan adanya omibus law menjadi salah satu sumber disrupsi baru bagi proses otonomi daerah.
Dengan begitu, Arif mengungkapkan perlu desain baru otonomi daerah di tengah upaya resentralisasi.
“Pada saat yang sama kita juga perlu mendesain ke depan harus seperti apa pemerintah daerah kita pasca 2024-2045. Saya yakin situasi yang sangat luar biasa ini, dinamis ini dibutuhkan penyesuaian baru lagi. Selain itu ada fenomena resentralisasi. Mengapa itu terjadi, karena ada ketidakpercayaan pusat ke daerah dan itu ada sebagian faKtual karena ada problem,” ujar Rektor IPB tersebut.