Bisnis.com, JAKARTA – Koalisi Tolak Penundaan Pemilu 2024 mencatatkan telah meraih 27.560 suara yang telah mendatangani petisi Tolak Penundaan Pemilu 2024 per Minggu 13 Maret 2022.
Dikutip dari change.org, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai, perpanjangan masa jabatan kepala daerah tidak diperlukan.
Penyebabnya, dalam undang-undang telah diatur mekanisme kekosongan jabatan kepala daerah yang habis pada 2022 dan 2023 akan diisi pejabat kepala daerah.
"Kesimpulannya, menunda Pemilu 2024 berarti melanggar hukum tertinggi Negara Republik Indonesia," katanya melalui rilis tertulis, Minggu (13/3/2022).
Lebih lanjut, dia mengatakan saat ini para elite politik makin kuat menyampaikan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Setidaknya sudah tiga partai DPR yang punya sinyal dukungan ini: PKB, Golkar, dan PAN.
“Bahkan, ada informasi Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto bahwa Presiden Jokowi telah memerintahkannya untuk mendorong penundaan Pemilu 2024. Mereka mengatasnamakan aspirasi warga dan pemulihan ekonomi dari dampak Covid-19 untuk menunda Pemilu 2024,” tuturnya.
Dia menilai, menunda Pemilu 2024 dan memperpanjang jabatan presiden pun membuat Indonesia melanggar prinsip pemerintahan presidensial. Sebagai bagian dari sistem politik hasil Reformasi, sistem presidensial punya dua perbedaan mendasar dengan sistem parlementer.
Pertama, pemerintahan yang terpisah dari parlemen. Kedua, presiden sebagai kepala pemerintahan punya masa jabatan yang tetap dan dibatasi oleh pemilihan langsung oleh rakyat secara berkala.
Selain itu, menurutnya, alasan ekonomi pada konteks Covid-19 pun bertentangan dengan praktik pemerintahan sebelumnya. Pada Pilkada 2020, korban infeksi dan nyawa dari wabah korona ada dalam keadaan puncak.
Para akademisi lintas bidang, tenaga medis, NGO, Ormas keagamaan lintas iman, dan mahasiswa, meminta penundaan Pilkada 2020. Keadaan ekonomi warga dan APBN/D dalam keadaan buruk karena terdampak Covid-19. Namun, pemerintah dan DPR tetap melanjutkan Pilkada 2020.
Sekadar informasi, petisi itu dibuat oleh sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mulai dari Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP), Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Komite Pemantau Legislatif (Kopel), Konstitusi Demokrasi (Kode) Inisiatif, Network for Democracy and Electoral Integrity (NETGRIT), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Luhut Binsar Panjaitan justru mengklaim bahwa banyak masyarakat yang mendukung penundaan pemilu.
Dikutip melalui kanal YouTube Deddy Corbuzier, Luhut menyebutkan memiliki mahadata (big data) dengan 110 juta warganet yang menyetujui untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024.
"Karena begini, kita kan punya big data, saya ingin lihat, kita punya big data, dari big data itu, kira-kira menggrab 110 juta. Iya, 110 juta, macam-macam, Facebook, segala macam-macam, karena orang-orang main Twitter, kira-kira orang 110 jutalah," kata Luhut.
Luhut menjelaskan, dari data tersebut masyarakat kelas menengah ke bawah juga menginginkan kondisi sosial politik yang tenang. Bahkan, mereka tidak ingin terjadi gaduh politik dan lebih menginginkan kondisi ekonomi ditingkatkan.
"Kalau menengah ke bawah ini, itu pokoknya ingin tenang, ingin bicaranya ekonomi, tidak mau lagi seperti kemarin. Kemarin kita kan sakit gigi dengan kampretlah, cebonglah, kadrunlah, itu kan menimbulkan [situasi] tidak bagus. Masa terus-terusan begitu," ujar Luhut.