Bisnis.com, JAKARTA – International Labour Organization atau Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) meminta pemerintah Indonesia lebih memperhatikan hak pekerja perempuan yang bekerja di perkebunan sawit dan perikanan.
Lusiana Julia peneliti ILO memaparkan, sektor pertanian dan perikanan di Indonesia menjadi sumber mata pencaharian bagi lebih dari 38 juta pekerja. Jumlah itu, kata dia, hampir 30 persen dari total penduduk yang bekerja.
Dari 38 juta pekerja di dua sektor itu, perempuan yang bekerja di sektor-sektor tersebut berjumlah sekitar 13,79 juta orang. Jumlah itu mewakili 36 persen dari total jumlah pekerja di kedua sektor.
Menurut Julia, para pekerja perempuan di sektor tersebut kerap dipandang sebelah mata. Mereka hanya dianggap pelengkap saja sehingga tidak mendapatkan hak.
"Banyak peran penting yang dilakukan oleh perempuan di sektor tersebut. Namun, mereka tak mendapat hak yang seharusnya seperti misalnya tidak memiliki kontrak kerja. Mereka hanya dianggap membantu saja, membantu suami atau keluarga," jelas Lusiana, Jumat (10/3/2022).
Kemudian lokasi sektor pertanian dan perkebunan kelapa sawit yang rata-rata di pedalaman membuat para pekerja perempuan ini minim mendapat akses informasi, terutama soal hak pekerja yang harusnya didapatkan.
Baca Juga
"Tidak mendapat akses informasi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja). Mereka (pekerja perempuan) sangat butuh perlindungan ketenagakerjaan karena jumlah petugas pengawasan sangat sedikit," kata Julia.
Julia menjelaskan permasalahan umum di sektor kelapa sawit dan perikanan di antaranya praktik hubungan kerja tidak standar, upah rendah dan pelanggaran upah. Lalu, kondisi kerja yang tidak aman dan sangat berbahaya, ditambah nilai partisipasi perempuan dan kontribusinya kurang diperhatikan.
ILO, ujar Julia, ingin mengedepankan hak untuk para pekerja perempuan di dua sektor industri tersebut, terutama di Indonesia dan Filipina.
Hal senada diungkapkan oleh Anis Hidayah, Pendiri dan Kepala Pusat Studi Migrasi, Migrant Care. Anis menilai, suasana kerja di dua sektor industri itu menyeramkan bagi perempuan. Hal itu merujuk banyak artikel investigasi.
"Kondisi sangat tidak layak untuk pekerja perempuan di dua sektor itu. Mereka lahir batin mendapat diskriminasi. Pemerintah atau perusahaan tampak lambat merespons itu," ungkapnya.
Tak hanya tentang kesehatan dan keselamatan kerja saja. Para pekerja perempuan ini rentan terhadap kekerasan seksual. Banyak kasus yang terjadi. Kendati banyak korban yang enggan melaporkan disebabkan minimnya akses hukum dan ketakutan secara personal.
"Ancaman soal pelecehan seksual terjadi dan itu nyata. ILO mendorong ini agar tak terjadi dan diatasi, mungkin nanti bisa bekerja sama," tutur Anis.
Kata Anis, kondisi kejadian dua industri ini sama saja seperti perbudakan modern. Namun, pemerintah kerap kali abai dengan kondisi para pekerja perempuan di dua sektor tersebut.
"Komitmen sangat rendah. Dari sisi pemerintah penting mempertanyakan. Kalo bertahun-tahun, sejak permasalahan sering terjadi. Ini harus ada afirmasi," tegasnya.
Dia berharap semua elemen dapat membantu untuk mendorong agar hak-hak para pekerja perempuan itu diperoleh. Sebab, menurut riset banyak terjadi eksploitasi dan perbudakan.
"Terkait masalah itu pekerjaan rumah kita masih banyak sekali. Kampanye sangat penting," katanya.
Peneliti masalah Ketenagakerjaan Universitas Parahyangan Bandung, Indrasari Tjandraningsih menjelaskan jumlah pekerja antara perempuan dan laki-laki sebenarnya imbang. Namun demikian, peran pekerja perempuan ini tidak terlihat.
"Peran pekerja perempuan nggak kelihatan, itu aneh banget. Kita angkat visibility perempuan sebagai pekerja," katanya.
Kata dia, secara demografis usia pekerja di dua sektor itu berkisar 6 hingga 60 tahun baik perempuan maupun laki-laki. Lalu tingkat pendidikan rendah mulai dari tak bersekolah, tingkat SD dan SMP.
Karena bersifat tak terlihat, pekerja perempuan ini tak mendapat hak atau upah yang layak. Mereka bekerja, tetapi tak dicatat sebagai pekerja.
"Upah Rp20-Rp40 ribu per hari selama 8 jam atau lebih. Kemudian, mereka hadapi masalah yang berkaitan dengan K3. Karena sifatnya yang invisible itu, jauh dari jamsos yang disediakan pemerintah," katanya.
Pekerja perempuan di dua sektor itu, kata Indasari, juga minim pengetahuan. Mereka tak mengetahui hak apa saja yang seharusnya diterima sebagai seorang pekerja. Yang mereka tahu hanyalah bekerja untuk menghidupi keluarga.