Bisnis.com, JAKARTA - Politikus Partai Gerindra Fadli Zon kembali menyoroti kebijakan pemerintah yang menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib dalam mengurus sejumlah pelayanan publik, mulai dari SIM, STNK, SKCK, izin usaha, jual beli tanah, naik haji, umrah, hingga ke soal keimigrasian.
Menurutnya, kebijakan yang muncul akibat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional itu sangat gegabah dan mengabaikan banyak sekali aspek, mulai dari soal filosofi, keadilan, kepantasan, serta prinsip pelayanan publik itu sendiri.
Dijelaskannya, ada beberapa catatan kenapa inpres tersebut tidak patut. Pertama, pelayanan kesehatan serta layanan publik lainnya, terutama yang bersifat dasar, pada prinsipnya adalah hak rakyat, yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Sehingga, negara tak boleh memposisikan hak tadi seolah-olah adalah kewajiban.
"Apalagi, hak rakyat dalam satu bidang kehidupan, dalam hal ini kesehatan, kemudian hendak dijadikan penghalang bagi hak dalam bidang kehidupan lainnya. Dari sudut filosofi layanan publik, ini jelas keliru," tulisnya.
Baca Juga
Kedua, dari sisi tata peraturan perundang-undangan, Inpres itu kedudukannya tak bisa mengikat umum (semua orang, atau setiap orang).
Dijelaskannya, kedudukan Inpres hanya bersifat mengikat ke dalam para pejabat pemerintah di bawah Presiden. Selain itu, Inpres juga seharusnya tidak memasukkan muatan yang bersifat pengaturan di dalamnya dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat.
Hal itu karena Presiden telah diberi kewenangan lain untuk menetapkan peraturan, yaitu berupa Peraturan Presiden. Dengan demikian, Inpres bukanlah bagian dari peraturan perundangan atau peraturan kebijakan.
"Sehingga, jika Inpres No. 1 Tahun 2022 kemudian diterjemahkan menjadi peraturan-peraturan baru terkait BPJS, maka hal itu bukan hanya menyalahi prinsip penyusunan peraturan perundang-undangan, tapi bahkan bisa melangkahi kewenangan sebuah undang-undang," jelasnya.
Syarat administratif membuat SIM, misalnya, sudah diatur dalam Pasal 81 Ayat (3) UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Syaratnya hanya KTP, mengisi formulir permohonan, dan rumus sidik jari.
"Menjadikan BPJS sebagai syarat baru, hanya dengan bekal Inpres, tak cukup punya dasar," lanjutnya.
Ketiga, meskipun UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mewajibkan semua orang untuk mendaftarkan diri dalam kepesertaan BPJS, mestinya Pemerintah menyelidiki terlebih dahulu kenapa orang tak mendaftar.
Kendala sosiologis dan strukturalnya mestinya dipahami dan dibenahi terlebih dahulu.
"Inpres No. 1 Tahun 2022 jangan menjadi alat pemaksaan BPJS. Tugas pemerintah mencari tahu atau memahami kendala yang dihadapi masyarakat mengapa tak daftar BPJS. Jangan sampai masyarakat jadi kian antipati terhadap BPJS," bebernya.
Dan keempat, Inpres tersebut sangat tak adil bagi masyarakat. Di satu sisi masyarakat mau dipaksa menjadi peserta BPJS, namun sistem dan manfaat pelayanan BPJS sendiri masih kerap berubah-ubah.
Dikatakannya, pada Oktober 2019 lalu Presiden
Jokowi pernah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 75 Tahun 2019 yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kelas I dari semula Rp80 ribu menjadi Rp160 ribu per bulan; Kelas II dari semula Rp51 ribu menjadi Rp110 ribu per bulan; dan Kelas III dari semula Rp25.500 menjadi Rp42 ribu per bulan.
Namun, pada bulan April 2020, Perpres itu dinyatakan tidak berlaku, sehingga besaran iuran BPJS kembali menjadi seperti yang diatur oleh Perpres No. 82 Tahun 2018, yaitu tarif sebelum kenaikan itu terjadi.
Anehnya, pada Mei 2020, Presiden kembali mengeluarkan Perpres No. 64 Tahun 2020, yang merevisi kembali iuran BPJS Kesehatan yang berlaku mulai 1 Juli 2020, dimana iuran Kelas I ditetapkan jadi Rp150 ribu; Kelas II Rp100 ribu; dan Kelas III Rp42 ribu.
"Bongkar pasang regulasi hanya dalam hitungan bulan semacam itu tentu saja sangat membingungkan para peserta BPJS," katanya.
"Yang terbaru, Pemerintah berencana menghapuskan kelas rawat inap BPJS, namun hingga saat ini peserta masih ditariki iuran berdasarkan kelas. Ini kan tidak adil bagi peserta yang membayar iuran lebih mahal," tambahnya.
Dalam sepuluh tahun terakhir, ia melihat tata kelola BPJS ini memang masih bersifat bongkar pasang dan amatiran. Di satu sisi dari aspek iuran ingin dimaksimisasi, namun aspek manfaatnya justru terus-menerus dikoreksi.
"Jika cara kerja Pemerintah seperti itu, bagaimana orang akan tertarik menjadi peserta?" ungkapnya.
Poin lain yang juga tidak adil adalah terkait buruh migran. Inpres No. 1 Tahun 2022 mewajibkan buruh migran untuk menjadi peserta aktif BPJS selama berada di luar negeri. Hal ini semakin aneh. Karena di satu sisi buruh migran wajib menjadi peserta BPJS, tapi layanan BPJS tak bisa menjangkau mereka.
"Apa artinya? Saya melihat, Inpres ini dikeluarkan semata-mata hanya untuk mengejar dan mengumpulkan dana publik sebanyak-banyaknya," terangnya.
"Mulai dari isu dana JHT (Jaminan Hari Tua) di BPJS Ketenagakerjaan, hingga syarat kepesertaan BPJS Kesehatan dalam Inpres No. 1 Tahun 2022, isu pokoknya sebenarnya bukanlah untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat, melainkan negara sedang menjadikan rakyatnya sebagai sapi perah untuk menjaga keseimbangan moneter dan fiskal Pemerintah," tandasnya.