Bisnis.com, JAKARTA - Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Budi Mulyanto mengingatkan kementerian teknis agar berhati-hati dalam menindaklanjuti pernyataan Presiden Joko Widodo terkait pencabutan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektar.
Pasalnya, HGU adalah Hak Atas Tanah (HAT) dan bukan izin, yang didasarkan pada Undang-Undang No. 5/1960 beserta peraturan-peraturan turunannya. Lantaran merupakan HAT atau Right, HGU mempunyai kewenangan konstitusional yang diikuti untuk harus melaksanakan berbagai peraturan-perundangan yang berlaku dan tanggung jawab.
Menurut Budi Mulyanto, untuk mendapatkan HGU, perusahaan perkebunan harus melalui proses perizinan panjang, salah satunya pelaksanaan izin lokasi yakni pembebasan lahan/tanah.
“Tanah tersebut juga harus bebas dari ketentuan status kawasan hutan, kayu/hasil hutan, garapan masyarakat, peta moratorium, inti-plasma serta konflik perizinan,” kata Budi Mulyanto yang juga Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI) di Jakarta, Jumat (7/1/2021).
Jika sudah mendapat HGU, Budi Mulyanto setuju jika lahan tersebut sebaiknya segera ditanami kalau tidak ingin dikenai Peraturan Pemerintah No. 11/2010 tentang Tanah Terlantar, yakni HGU dicabut.
“Hanya saja, kalau lahan tersebut sudah menjadi kebun yang bagus dan ditanami, sebaiknya tidak boleh diganggu gugat. “
Baca Juga
Oleh karena itu, pakar pertanahan ini menyarankan tindak lanjut kementerian teknis harus sangat berhati-hati melakukan verifikasi detail, transparan dan akuntabel.
Menurut Budi Mulyanto, jika tindak lanjut pernyataan Presiden Jokowi tidak dilakukan secara berhati-hati akan berpeluang menimbulkan dampak kerawanan sosial.
Kesalahpahaman seperti ini, kata Budi, pernah terjadi pada masa lalu. Pemerintah, lanjutnya juga harus bersikap tegas terhadap pihak-pihak yang dengan sengaja mem-framing seolah-olah sudah ada keputusan final terkait pencabutan lahan HGU yang kini beredar di masyarakat.
“Hiruk-pikuk pencabutan perizinan ini berpeluang menurunkan peringkat ease of doing business atau EODB,” kata Budi.
Terpisah, pakar hukum kehutanan dan lingkungan, Sadino mengatakan pemerintah wajib melakukan verifikasi terkait luasan HGU perkebunan yang ditelantarkan seluas 34.448 hektar.
Hal ini, kata Sadino, karena tidak semua HGU perkebunan bisa ditanami. Ada beberapa bagian seperti lahan berpasir, lahan yang diapit sungai atau masuk dalam kawasan High Conservation Value (HVC) tidak bisa dan tidak boleh ditanami.
“Bahkan, di sejumlah lahan PT perkebunan negara masih banyak lahan yang tidak bisa ditanami karena masih berkonflik dengan masyarakat sekitar,” kata Sadino.
Sadino juga mengingatkan, pemerintah tidak bisa seenaknya menindak lahan HGU tanpa verifikasi yang transparan. Pasalnya dalam HGU ada ada amanah dari pelepasan kawasan yang ditingkatkan menjadi hak atas tanah.
“Karena telah berpindah tentunya, kewenangan final di di Kementerian ATR/BPN dan bukan KLHK,” jelas Sadino.