Bisnis.com, JAKARTA – Salah satu Hakim Pengadilan Tipikor PN Jakarta Pusat menilai perhitungan kerugian negara sebesar Rp22,7 triliun oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam kasus dugaan korupsi PT Asabri tidak tepat, tidak terbukti, dan tidak mempunyai dasar.
Hal itu disampaikan Hakim Anggota Mulyono Dwi Purwanto dalam dissenting opinion atau berbeda pendapat untuk memutus empat terdakwa kasus Asabri.
“Perhitungan kerugian keuangan negara oleh BPK tidak punya dasar yang jelas dan tidak memenuhi kerugian negara yang nyata dan pasti, sehingga [kerugian] Rp22 triliun tidak berdasar dan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan,” katanya saat membacakan dissenting opinion di Pengadilan Tipikor, Selasa (4/1/2022).
Mulyono menjelaskan bahwa BPK dan ahli tidak konsisten, juga tidak tepat ketika melakukan perhitungan kerugian negara dalam kasus Asabri.
Berdasarkan perhitungan BPK, kerugian negara Rp22,7 triliun berasal dari jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada saham setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo 31 Desember 2019, sebelum laporan audit selesai 31 Maret 2021.
Hakim Mulyono meyakini metode yang dipakai adalah total loss, yaitu diakui penerimaan dana sebelum audit selesai. Menurut dia, dana Rp22,7 triliun adalah saldo dari pembelian rekening efek yang melanggar peraturan yang berlaku.
Baca Juga
Selain itu juga belum dipulihkan kembali per 31 Desember 2019, namun masih memperhitungkan penerimaan dana, meski pembelian tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dia berpandangan, reksadana, surat, dan saham-saham masih ada, serta menjadi milik Asabri dan memiliki nilai atau harga. Akan tetapi, ini tidak diperhitungkan oleh auditor atau ahli yang dihadirkan di persidangan, sehingga tidak konsisten dengan penerimaan atas likuidasi saham setelah 31 Desember 2019.
“Bahkan sampai audit pemeriksaan pada 31 Maret 2021, meski tidak diperhitungkan penjualan sesudah masa akhir pemeriksaan tersebut,” terangnya.
Mulyono menilai, dengan metode penghitungan ahli itu, maka saham masih memiliki nilai bila dijual atau dilikuidasi reksadananya. Itu sebabnya, walau pembelian menyimpang masih menghasilkan dana kas bagi Asabri.
Dana kas tersebut memang tidak pasti, karena harganya berfluktuasi. Oleh karena itu, Mulyono menilai lebih fair untuk menghitung dana kas dalam kerugian negara tersebut.
“Auditor tidak memperhitungkan itu, tapi hanya efek surat berharga yang tidak terjual kembali sebelum 31 Desember 2019, tapi memperhitungkan penerimaan setelah 31 Desember 2018. Hal itu menyebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat, tidak nyata atau tidak pasti nilainya, karena tidak dihitung secara riil pembelian yang menyimpang, namun mengesahkan penerimaan dananya dari penjualan atau redempt atau likuidasi efek tersebut sampai waktu tertentu,” terang Mulyono.
Metode audit yang digunakan untuk menghitung kerugian negara, tambah Mulyono, adalah total loss dengan modifikasi. Caranya, dengan menghitung selisih uang yang dikeluarkan Asabri dengan pembelian instrumen investasi berdasarkan aturan hukum yang berlaku dikurangi dengan dana yang kembali dari investasi per 31 Desember 2019.
“Sejatinya, menurut standar akuntansi di tanggal tertentu, posisi laba atau rugi bersifat unrealized, karena belum riil terjual berdasarkan harga perolehan, sehingga masih potensi,” jelasnya.
Dissenting opinion dibacakan Hakim Mulyono dalam sidang putusan empat terdakwa Asabri. Semuanya adalah dua mantan Direktur Utama Asabri, yaitu Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri dan Letjen (Purn) Sonny Widjaya, serta dua Direktur Keuangan Asabri Bachtiar Effendi dan Hari Setianto.