Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai 2021 merupakan tahun yang sangat memprihatinkan bagi anak dan perempuan. Selain karena banyak anak yang kehilangan orang tua atau kerabatnya akibat terkena Covid-19, marak terjadi kekerasan seksual baik di lingkungan rumah hingga lingkungan pendidikan.
Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, maraknya kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan yang terungkap di publik bisa jadi hanyalah fenomena gunung es. KPAI mencatat setidaknya ada 18 kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan.
“Selama tahun 2021, ada tiga bulan tidak muncul kasus kekerasan seksual di media massa ataupun yang di laporkan kepolisian, yaitu pada bulan Januari, Juli dan Agustus, sedangkan 9 bulan lainnya muncul kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang dilaporkan ke kepolisian dan diberitakan di media massa,” kata Retno dalam keterangan yang diterima Bisnis, Selasa (28/12/2021).
Dari catatan itu juga, empat atau 22,22 persen dari total kasus terjadi di sekolah di bawah kewenangan Kemendikbud Ristek, dan 14 atau 77,78 persen terjadi di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.
Sementara itu, lokasi kejadian meliputi 17 Kabupaten/Kota pada sembilan provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, D.I. Yogyakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara. Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua.
Adapun, peristiwa itu terjadi di kabupaten/kota Cianjur, Depok, Bandung, dan Tasikmalaya (Jawa Barat), Sidoarjo, Jombang, Trenggalek, Mojokerto dan Malang (Jawa Timur), Cilacap dan Sragen (Jawa Tengah), Kulonprogo (D.I Yogyakarta), Solok (Sumatera Barat), Ogan Ilir (Sumatera Selatan), Timika (Papua), dan Pinrang (Sulawesi Selatan).
Baca Juga
Hasil penemuan KPAI mayoritas kasus kekerasan seksual terjadi di satuan pendidikan berasrama atau boarding school yang berada di bawah Kemenag, yaitu sebanyak 12 satuan pendidikan (66,66 persen).
Sementara kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan di bawah Kemendikbud Ristek ada 2 yang berlatar belakang sekolah berasrama, yaitu di kota Medan Sumatera Utara dan di Batu Jawa Timur.
“Hal yang paling miris, pelaku kekerasan seksual terdiri dari pendidik atau guru, kepala sekolah hingga pembina asramanya. Seluruh pelaku adalah laki-laki namun korbannya itu perempuan dan juga laki-laki. Total korban dari 18 kasus itu ada 207 orang, yakni 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki rentang usia 3-17 tahun,” jelas Retno.
Terkait dengan temuan itu, KPAI, kata Retno mendorong agar Kemenag memiliki Peraturan Menteri (seperti Permendikbud No. 82/2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan pendidikan) yang memastikan adanya sistem pencegahan dan penanggulangan kekerasan di satuan pendidikan, termasuk kekerasan seksual.
“KPAI mendorong Kemendikbud Ristek dan Kemenag untuk membangun sistem perlindungan terhadap peserta didik selama berada di lingkungan satuan pendidikan dengan sistem berlapis, terutama di sekolah berasrama. Permen juga harus disertai penindakan kepada para pelaku kekerasan di lingkungan pendidikan,” tambahnya.
Mengenai Permendikbud No. 82/2015, KPAI mendorong Kemendikbud Ristek untuk melakukan sosialisasi secara masif kepada sekolah, Dinas Pendidikan di seluruh Kabupaten/Kota dan provinsi, karena masih cukup banyak sekolah yang belum mengetahui regulasi tersebut.
“KPAI juga mendesak lembaga pendidikan harus berani mengakui dan mengumumkan adanya kasus kekerasan seksual di lingkungan mereka disertai permintaan maaf dan tindakan konkretnya. Jangan ditutupi, dianggap aib lembaga, tetapi wajib melaporkan kepada pihak kepolisian sehingga ada tindakan hukum,” tegas Retno.