Bisnis.com, JAKARTA -- Tuntutan hukuman mati terhadap Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat menuai polemik.
Ada yang mendukung tuntutan tersebut, tetapi tak sedikit yang mengkritisi tuntutan mati yang diajukan oleh jaksa.
Bagi yang mendukung, tuntutan mati memang perlu diterapkan karena nilai kerugian negara akibat korupsi Asabri mencapai Rp22,7 triliun. Salah satu skandal korupsi terbesar sejak Indonesia merdeka.
Sementara yang menolak, umumnya mereka mengkritisi teknis penerapan pasal hukuman mati bagi Heru Hidayat.
Para pengkritik tuntutan mati itu mencium adanya inkonsistensi penerapan pasal dalam dakwaan dan tuntutan terhadap Heru Hidayat.
Dalam dakwaan pasal yang dikenakan terhadap Heru Hidayat adalah Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Tipikor. Sedangkan saat tuntutan, Heru justru dituntut mati, dimana hukuman mati bukan cakupan pasal tersebut.
Baca Juga
Adapun nama Heru Hidayat memang mendapat banyak sorotan belakangan ini karena keterlibatannya dalam skandal korupsi yang ditangani oleh kejaksaan. Dia telah divonis seumur hidup karena terbukti bersalah dalam perkara korupsi Jiwasraya.
Selain itu sebagian asetnya juga telah disita oleh negara sebagai upaya untuk mengembalikan kerugian negara yang nilainya triliunan rupiah.
Heru juga terancam dieksekusi mati jika hakim sampai perkara tersebut inkracht mengabulkan permintaan jaksa yakni menjatuhkan hukuman mati terhadap Heru Hidayat.
Berikut kronologi tuntutan mati terhadap Heru Hidayat yang masih menuai kontroversi sampai saat ini: