Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyampaikan bahwa keadilan restoratif menjadi solusi atas sistem peradilan pidana di Indonesia.
Menurutnya, kondisi lembaga pemasyarakatan yang over capacity seperti saat ini merupakan akibat tidak diterapkannya keadilan restoratif secara menyeluruh.
“Akibat dari hal itu, dimana kecenderungan restorative justice itu kadang kala hanya ada di buku tidak ada di internalisasi nilai-nilai pelaksanaan peradilan, di lapas sampai dengan 8 September 2021, jumlah penghuni lapas seluruh Indonesia mencapai 266.319 orang, padahal kapasitas maksimalnya hanya 132.107 orang,” katanya dalam sebuah Focus Group Discussion dikutip dari Youtube Kemenko Polhukam RI pada Kamis (4/11/2021).
Dengan demikian, terjadi kelebihan kapasitas atau over capacity lebih dari dua kali lipat yaitu 134.212 atau 101,5 persen.
Menariknya, sambung Mahfud, dari 266.319 penghuni lapas tersebut, sebanyak 136.030 orang warga binaan atau sekitar 51,08 persen terjerat kasus penyalahgunaan narkotika, sedangkan sisanya terdiri dari berbagai macam kasus pidana lonnya.
“Dari 136.030 orang itu 52.000 warga binaan itu merupakan pengguna [narkotika] atau sekitar 39 persen,” katanya.
Lebih lanjut, Mahfud menambahkan, bahwa anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk seluruh warga binaan tersebut setiap tahunnya mencapai sekitar Rp2,223 triliun.
Perinciannya, untuk anggaran makan mencapai sekira Rp1,9 triliun, kebutuhan dasar Rp148 miliar, dan untuk layanan kesehatan mencapai Rp87 miliar.
“Itu situasinya sehingga restorative justice diperlukan karena sistem kepenjaraan kini sudah menjadi pemasyarakatan,” katanya.
Mahfud menjelaskan Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan sudah bersepakat mempunyai satu sistem peradilan pidana terpadu yang disebut integrated criminal justice system.
Di dalam sistem yang terintegrasi tersebut, ada beberapa subsistem yang menunjang penerapan keadilan restoratif yang memiliki tanggung jawab di setiap lembaga.
"Ini semua untuk menanggulangi tindak pidana di dalam masyarakat. Sehingga karena ada beberapa subsistem peradilan yang disebut aparat penegak hukum maka efektifitasnya akan ditentukan oleh sinergisitas antara polisi, jaksa, dan hakim sehingga merupakan satu rangkaian," jelas Mahfud.
Namun pelaksanaan keadilan restorasi memiliki potensi industrialisasi hukum yakni menjadi sarana transaksional baru dalam penyelesaian perkara.
Mahfud meminta para penegak hukum mewaspadai potensi industrialisasi hukum dalam penerapan keadilan restoratif.
Menurutnya celah tersebut dimanfaatkan oleh orang yang berkepentingan untuk mengambil keuntungan.
“Indurstrialisasi hukum banyak terjadi, meskipun secara umum sebenarnya tidak. Tetapi, masih banyak terjadi sehingga menjadi isu,” ujarnya.