Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dua Tahun Periode Kedua Jokowi: Rapor Merah di Tahun Kedua

Mahasiswa melalui BEM SI berharap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dapat memperbaiki kinerjanya tiga tahun kedepan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin upacara peringatan HUT ke-76 TNI pada Selasa (5/10) di Istana Negara, Jakarta - Youtube Sekretariat Presiden
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memimpin upacara peringatan HUT ke-76 TNI pada Selasa (5/10) di Istana Negara, Jakarta - Youtube Sekretariat Presiden

Bisnis.com, JAKARTA - Peringatan dua tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang jatuh pada Rabu (20/10) mendapatkan sorotan dari banyak pihak. Tak terkecuali Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) lewat aksi unjuk rasa bertajuk “7 Tahun Jokowi Mengkhianati Rakyat”.

Mereka awalnya berencana menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta pada Kamis (21/10/2021) untuk menyampaikan secara langsung kritik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Namun, mereka dihalau untuk mendekati kawasan istana dan akhirnya tertahan di Bundaran Patung Kuda, Jakarta.

Aksi unjuk rasa yang berjalan kondusif itu melibatkan ratusan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Tanah Air. Selain di Istana Negara, aksi unjuk rasa juga digelar BEM SI di sejumlah kota di Indonesia.

Koordinator Aksi Lapangan BEM SI Alvian dalam orasinya menyebut rapor merah layak diberikan kepada kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin lantaran kondisi Indonesia saat ini mengalami kemunduran dalam banyak hal. Mulai dari meningkatnya utang luar negeri dari tahun ke tahun hingga kemunduran demokrasi yang cukup signifikan.

“Selama tujuh tahun kepemimpinan Pak Jokowi, kami justru menemukan bukannya dia memajukan Indonesia tapi dia memundurkan Indonesia. Apalagi di dua tahun terakhir ini," demikian disampaikan Alvian.

Melalui pemberian rapor merah tersebut, BEM SI berharap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dapat memperbaiki kinerjanya tiga tahun kedepan. Selain itu, mereka juga meminta pemerintahan keduanya untuk memenuhi 12 poin yang menjadi tuntutan mahasiswa dalam aksi unjuk rasa kali ini.

Tuntutan tersebut dimuat dalam sebuah dokumen yang kemudian diterima secara langsung oleh Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko di sela-sela berlangsungnya aksi unjuk rasa. Dia secara langsung menemui lima perwakilan pengunjuk rasa disaksikan oleh pengunjuk rasa lainnya dari balik barikade kawat berduri.

Pada kesempatan tersebut, Moeldoko tidak banyak bicara atau mengeluarkan penyataan khusus. Dia hanya menegaskan bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin terbuka dengan kritik yang dilontarkan oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk mahasiswa.

"Kajian kawan-kawan mahasiswa ini akan kami sampaikan kepada bapak presiden sebagai evaluasi dan monitoring kebijakan pemerintah ke depan. Silakan kawan-kawan datang ke KSP. Pintu kantor saya selalu terbuka untuk berdialog," katanya.

Tentu saja dokumen berisi 12 tuntutan itu tidak diberikan begitu saja oleh BEM SI. Pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin diberikan waktu paling lambat tiga hari untuk menindaklanjutinya. Jika tidak ada tindak lanjut, maka BEM SI akan menyiapkan aksi unjuk rasa lanjutan.

Upaya pemberantasan korupsi yang jauh panggang dari api ikut menjadi sorotan dalam peringatan dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin. Menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, hingga saat ini belum ada langkah konkrit yang diambil terkait dengan upaya pemberantasan korupsi.

"Belum ada kebijakan yang konkret juga dari pemerintah soal penguatan KPK [Komisi Pemberantasan Korupsi] maka kami meyakini IPK [Indeks Persepsi Korupsi] kita akan anjlok diikuti dengan indeks demokrasi dan lain-lain," katanya pada Kamis (22/10/2021) dalam sebuah konferensi pers virtual.

Sebagaimana diketahui, IPK Indonesia pada 2020 berada di angka 37 atau turun tiga poin dibandingkan pada 2019 yang ada di angka 40. Hal tersebut menurut Kurnia tak terlepas dari upaya penggembosan terhadap KPK, khususnya yang berkaitan dengan independensi.

“Ada gerakan dari partai politik yang sepakat dengan kebijakan yang melemahkan lembaga antirasuah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan Pimpinan KPK semata tapi ada kontribusi dari pemerintah dan DPR [Dewan Perwakilan Rakyat]," katanya.

Lebih lanjut, menurut Kurnia upaya penggembosan lembaga antirasuah itu dimulai saat eksekutif dan legislatif menyepakati revisi Undang-Undang (UU) KPK pada 2019. Upaya tersebut makin terlihat setelah munculnya polemik Tes Wawasan Kebangsaan [TWK] yang sukses mendepak 57 pegawai KPK berpengaruh.

Sebelumnya, Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Rivanlee Anandar menyebut demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran pada tahun kedua kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin. Hal tersebut terlihat dari semakin sempitnya ruang masyarakat sipil untuk mengemukakan pendapatnya.

"Fenomena-fenomena permasalahan di masa Pemerintahan Joko Widodo cukup menggambarkan bahwa situasi demokrasi Indonesia merosot tajam di tahun kedua kepemimpinan Joko Widodo -Ma'ruf Amin. Kami menilai, sepanjang dua tahun memimpin di periode keduanya, demokrasi mati secara perlahan," katanya melalui konferensi pers virtual yang digelar pada Selasa (19/10/2021) lalu.

Sempitnya ruang masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya tercermin dari adanya serangan digital terhadap individu atau kelompok yang menyampaikan kritiknya terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin atau mengomentari isu terkait kepemimpinan keduanya. Serangan tersebut secara masif, terstruktur, dan tentunya menggunakan akun anonim.

“Yang disayangkan KontraS, serangan digital masif seperti doxing dan peretasan akun tak kunjung mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah,” ujarnya.

Kondisi tersebut juga diperparah dengan keberadaan UU No. 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan hadirnya Polisi Siber untuk memantau aktivitas masyarakat di dunia maya. Kehadiran keduanya cenderung mengatur dan menindak ekspresi warga negara secara berlebihan.

Di sisi lain, represifitas dan brutalitas aparat juga ikut memperburuk kebebasan masyarakat sipil. KontraS mencatat sepanjang September 2019–September 2021 setidaknya ada 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi yang pelakunya didominasi pihak kepolisian.

Catatan tersebut diperkuat dengan temuan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Korps Bhayangkara, termasuk diantaranya adalah arogansi dan kekerasan berlebih terhadap masyarakat yang mengemukakan pendapatnya, baik secara langsung maupun di dunia maya.

Pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah menilai pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin perlu mengevaluasi sejumlah kebijakan yang kontroversial atau menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Selain itu, yang tak kalah penting adalah mewujudkan sinkronisasi kebijakan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

"Kebijakan [pemerintah] pusat dan daerah ini sering tidak sinkron satu sama lain. Ini juga perlu diperhatikan untuk tiga tahun ke depan. Demikian halnya dengan kebijakan antarlembaga, jangan sampai ada ego sektoral yang mana masing-masing lembaga mau menang sendiri," katanya kepada Bisnis, Jumat (22/10/2021).

Lebih lanjut, Trubus menyebut kebijakan pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin selama ini tidak benar-benar mencerminkan apa yang diinginkan publik. Sebabnya, kebijakan tersebut dipengaruhi oleh sejumlah pihak yang punya kepentingan.

Oleh karena itu, tak perlu heran beberapa kebijakan mendapatkan penolakan keras dari masyarakat.

"Kebijakan pemerintahan ini banyak dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pihak tertentu, bukan kepentingan publik. Itu yang pada akhirnya menimbulkan penolakan atau gejolak di tengah masyarakat," ujarnya.

Walaupun demikian, bukan berarti tidak ada hal positif yang berhasil dicapai oleh pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin. Selain berhasil memperbaiki kebijakan serta implementasi penanganan pandemi Covid-19, selama dua tahun terakhir kepemimpinan keduanya terbilang berhasil menjaga stabilitas nasional.

"Stabilitas nasional boleh dikatakan cukup baik selama dua tahun terakhir. Ini tentunya perlu diapresiasi," ungkapnya.

EKONOMI MEROSOT

Rapor merah juga diberikan kepada pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin dalam hal mengangkat perekonomian nasional. Menurut ekonom senior Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Faisal Basri, kepemimpinan keduanya gagal mendongkrak pertumbuhan ekonomi nasional sebagaimana janjinya saat kampanye, yakni naik hingga 7 persen setiap tahunnya.

Bahkan, pertumbuhan ekonomi nasional sejak awak era kepemimpinan Jokowi atau 2014 menurutnya konsisten menurun. Dia menilai pertumbuhan ekonomi nasional pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih jauh lebih baik lantaran sempat berhasil mencapai angka 6%.

"Lima tahun [periode] kedua itu saya perkirakan [pertumbuhannya] cuma 4,5 persen. Jadi, bakal turun terus sampai 2024, konsisten menurun. Jadi gagal mengangkat sesuai dengan janji kampanye," kata dia dalam diskusi virtual, Rabu (20/10/2021).

Selain itu, Faisal beranggapan bahwa target pertumbuhan ekonomi pemerintah masih mementingkan sisi kuantitas. Padahal yang dibutuhkan saat ini adalah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Seharusnya pemerintah lebih mementingkan sisi kualitas dari pemulihan ekonomi nasional ketimbang angka-angka yang bersifat kuantitas.

Faisal menyebut menilai proses pemulihan ekonomi nasional yang terjadi saat ini tidak merata. Sebabnya, sebagian masyarakat ada yang mengalami perbaikan ekonomi yang cepat dan sebagian lagi makin terpuruk.

Sementara itu Juru Bicara Presiden Fadjroel Rahman menyebut selama dua tahun masa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin telah tercipta keseimbangan antara penanganan pandemi Covid-19, kebijakan keberlanjutan pembangunan nasional, serta pengawalan keadilan, hukum dan hak asasi manusia (HAM).

Penanganan pandemi Covid-19 yang tepat berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan kedua 2021 hingga 7,07 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year on year/YoY). Hal tersebut juga diikuti oleh terjaganya daya beli, geliat usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), dan ketahanan sosial masyarakat pada level sosial ekonomi mikro.

Hal tersebut juga tak terlepas dari keberadaan UU No. 20/2020 tentang Cipta Kerja yang berhasil menyederhanakan regulasi dan merubah cara kerja lembaga pemerintah.

"Cara kerja baru bangsa Indonesia juga diperkuat oleh organisasi pemerintahan yang maju yaitu birokrasi yang tidak rumit, tidak koruptif, dan terintegrasi secara digital. Maka, Presiden Joko Widodo mengeluarkan kebijakan penyederhanaan birokrasi sebagai upaya membentuk organisasi pemerintahan maju," katanya melalui keterangan tertulis pada Kamis (21/10/2021).

Menurut Fadjroel, cara kerja baru yang ditopang penyederhanaan regulasi dan birokrasi adalah landasan penting implementasi kebijakan di semua bidang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rezha Hadyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper