Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rudal Korut, KORUS, dan Sanksi PBB

Ketika Korea Utara dilanda kesulitan sebagai akibat adanya sanksi oleh PBB, apakah sebaliknya Amerika Serikat juga melonggarkan ‘level kecurigaan’ secara militer terhadap negara tersebut?
Rudal hipersonik yang baru dikembangkan Hwasong-8 diuji coba oleh Akademi Ilmu Pertahanan DPRK di Toyang-ri, Kabupaten Ryongrim Provinsi Jagang, Korea Utara, dalam foto tak bertanggal yang dirilis pada Rabu (29/9/2021) dan diambil oleh North Korea's Korean Central News Agency (KCNA)./Antara-Reuters
Rudal hipersonik yang baru dikembangkan Hwasong-8 diuji coba oleh Akademi Ilmu Pertahanan DPRK di Toyang-ri, Kabupaten Ryongrim Provinsi Jagang, Korea Utara, dalam foto tak bertanggal yang dirilis pada Rabu (29/9/2021) dan diambil oleh North Korea's Korean Central News Agency (KCNA)./Antara-Reuters

Bisnis.com, JAKARTA – Diplomasi rudal agaknya masih menjadi isu utama dalam melihat konstelasi politik di Semenanjung Korea.

Isu ini akan menentukan arah dan peta hubungan kedua negara yang bermusuhan, yaitu Korea Utara dan Korea Selatan berikut negara-negara besar lainnya yang kental mewarnai dinamika konstelasi tersebut.

Hal itu paling tidak muncul kembali ketika Pyongyang melakukan uji coba rudal balistik terbaru dari kapal selam pada Selasa (19/10). Seperti biasa, Amerika Serikat langsung merespons setiap kali Korea Utara meningkatkan kemampuan militer dan pertahanannya, terutama yang berbasis peluru kendali.

Namun ada hal menarik pula yang perlu dicermati. Pasalnya, tak lama berselang Korea Selatan juga berhasil meluncurkan roket pertamanya, Nuri, ke luar angkasa pada Kamis (21/10).

Roket tersebut dirancang untuk menempatkan muatan 1,5 ton ke orbit pada ketinggian 600 kilometer hingga 800 kilometer di atas bumi. Inilah bagian dari rencana besar Seoul untuk meluncurkan satelit pengawasan, navigasi, dan komunikasi, serta satelit bulan.

Program peluncuran luar angkasa telah lama menjadi isu sensitif di Semenanjung Korea. Di kawasan itu, Korea Utara menghadapi sanksi atas program rudal balistik bersenjata nuklirnya.

Korea Selatan berencana untuk meluncurkan berbagai satelit militer pada masa depan tetapi para pejabat menyangkal bahwa Nuri dapat berfungsi sebagai senjata.

Sebelumnya pada 2013, roket Korea Selatan yang dikembangkan bersama dengan Rusia diluncurkan setelah melalui beberapa kali penundaan dan serangkaian uji coba.

Adanya kendaraan peluncuran roket sendiri memberikan Seoul fleksibilitas untuk menentukan jenis muatan dan jadwal peluncuran, serta melindungi muatan ‘rahasia’ seperti satelit mata-mata, tulis Reuters seperti dikutip Antara.

Kembali ke soal uji coba rudal terbaru Korut, ‘radar’ AS langsung menanggapinya meskipun tidak bernada terlalu keras. Bahkan Washington, seperti disampaikan Duta Besar AS untuk PBB Linda Thomas-Greenfield, ingin mengajak Pyongyang untuk bertemu lagi tanpa syarat guna membicarakan peredaan ketegangan di semenanjung tersebut.

Korea Utara, yang secara resmi dikenal sebagai Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK), telah lama menuduh AS memiliki kebijakan yang bermusuhan terhadap negara Asia itu. Pyongyang menegaskan bahwa negara itu memiliki hak untuk mengembangkan senjata untuk pertahanan diri.

Korea Utara telah dikenai sanksi PBB sejak 2006. Sanksi itu terus diperkuat dalam upaya untuk memotong dana untuk program nuklir dan rudal balistik Pyongyang. Langkah-langkah sanksi tersebut termasuk larangan peluncuran rudal balistik.

Itulah persoalannya. Mengapa program rudal balistik negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un tersebut harus dikenai sanksi PBB? Padahal banyak negara lain yang juga mengembangkan rudal balistik, termasuk ICBM berhulu ledak nuklir ‘bebas berkeliaran’ tanpa diganggu-gugat oleh PBB.

Sebut saja pemain lama seperti AS, Rusia, China, Inggris, Prancis. Adapun ‘pemain ‘baru’ yang terbilang agresif antara lain Israel, Pakistan, dan India.

Sejauh ini terlihat bahwa sanksi tersebut tidak mengurangi keseriusan Korea Utara dalam meningkatkan kemampuan militer dan pertahanannya.

Pada 2018 dan 2019, Kim Jong-un dan Presiden AS saat itu Donald Trump bertemu tiga kali tetapi gagal membuat kemajuan atas seruan AS agar Pyongyang menyerahkan senjata nuklirnya dan tuntutan Korea Utara untuk pengakhiran sanksi.

Di sisi lain, ketika Pyongyang dilanda kesulitan sebagai akibat adanya sanksi oleh PBB, apakah sebaliknya AS juga melonggarkan ‘level kecurigaan’ secara militer terhadap negara tersebut? Tampaknya tidak demikian.

Saat ini Korsel dan AS masih terikat dalam sebuah perjanjian perdagangan bebas yang disebut KORUS. Ini merupakan perjanjian yang merupakan salah satu fondasi hubungan ekonomi, aliansi militer dan, yang terpenting, operasi serta kapabilitas intelijen rahasia yang melibatkan kedua sekutu tersebut.

Dalam karyanya yang terkenal, Fear, Bob Woodward menjelaskan bahwa berdasarkan kesepakatan yang disetujui pada 1950-an, AS menempatkan 28.500 orang prajuritnya di Korea Selatan dan mengoperasikan program yang paling rahasia dan sensitif, yaitu Special Access Programs (SAP).

Program akses khusus ini menyediakan intelijen sandi dan kapabilitas militer rahasia paling mutakhir. Apalagi rudal jarak jauh (ICBM) Korea Utara saat ini punya kemampuan untuk membawa senjata nuklir yang mungkin saja dapat menjangkau hingga ke dataran Amerika.

Sebuah rudal dari Korea Utara akan memakan waktu sekitar 38 menit untuk mencapai Los Angeles. Dengan SAP memungkinkan AS mendeteksi jika ada peluncuran ICBM di Korea Utara dalam waktu hanya tujuh detik.

Program serupa di Alaska memakan waktu 15 menit. Perbedaan waktu yang sangat besar! Sejauh ini SAP masih aktif. KORUS juga masih aktif. Perjanjian ini memang nyaris dicabut oleh Trump, karena AS menanggung defisit yang sangat besar dalam neraca perdagangannya dengan Korsel.

Namun politisi dan kalangan militer AS berhasil memenangkan ‘perang’ melawan Trump, sehingga akhirnya KORUS tetap dipertahankan.

Bagaimana masa depan konstelasi di Semenanjung Korea? Apakah permusuhan Washington-Pyongyang akan berakhir dengan kisah yang mirip hubungan AS-Kuba?

Harapan tersebut tampaknya masih harus melalui jalan panjang nan terjal dan berliku.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Inria Zulfikar
Editor : Inria Zulfikar

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper