Bisnis.com, JAKARTA - Juru Bicara Presiden Jokowi Fadjroel Rachman mengatakan pihak-pihak yang menolak pemindahan Ibu Kota Negara ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, merupakan mereka yang suka kebiasaan lama alias tidak suka perubahan.
Kendati demikian, menurut Fadjroel, Presiden tak akan berhenti melanjutkan rencana pembangunan ibu kota baru ini. Ia mengklaim, pemindahan Ibu Kota Negara ke Penajam Paser Utara merupakan langkah konkret Presiden Jokowi mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia.
"Halangan perubahan bisa muncul dari para pendukung kebiasaan lama," ujar Fadjroel Rachman, Jumat (1/10/2021)
Adapun, lokasi ibu kota di tengah wilayah geografis Nusantara disebut simbol transformasi progresif menuju Indonesia Maju.
"Transformasi progresif dari kebiasaan lama menjadi kebiasaan baru yang berprinsip pada pemerataan pembangunan, perlindungan lingkungan dalam menghadapi perubahan iklim, kualitas baru tata kelola pemerintahan, dan transformasi progresif dan menyeluruh kehidupan sosial, ekonomi dan budaya," ujarnya.
Fadjroel menambahkan Ibu Kota Negara di Pulau Kalimantan ini merupakan bagian dari keberpihakan Presiden Jokowi untuk mengonsolidasikan tatanan demokrasi dan pemerataan kesejahteraan yang didambakan rakyat Indonesia.
Baca Juga
"Perubahan kultur dan sistem yang mampu menjawab tantangan jaman dan memeratakan keadilan pembangunan atau Indonesiasentris. Ibu Kota Negara di Penajam Paser Utara Kalimantan Timur ini akan menjadi lokomotif bangsa indonesia mewujudkan Indonesiasentris dan Indonesia Maju," tuturnya.
Pada Rabu (29/9/2021), Jokowi mengirimkan Surat Presiden (Supres) tentang Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) kepada DPR. Surpres tersebut diantar langsung oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Nasional Suharso Monoarfa.
Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut kelanjutan rencana pembangunan IKN ini berisiko memberatkan keuangan negara. Bhima menganggap pemerintah terlalu optimistis dalam menyusun asumsi pembiayaan IKN.
Kebutuhan proyek besar itu ditaksir mencapai Rp466,9 triliun. “Itu skenario bila swasta memang tertarik,” katanya.
Dalam skema yang pernah diumumkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), hanya ada 19,2 persen dari total biaya atau Rp89 triliun yang akan dibiayai anggaran negara. Sebanyak 81 persen pendanaan mengandalkan swasta, baik berupa kemitraan dengan pemerintah maupun investasi langsung.
Menurut Bhima, bila dihitung secara kasar dari proyeksi masa pengembangan IKN selama 15-20 tahun, kebutuhan biaya per tahun mencapai Rp 31,1 triliun. Artinya, kata dia, porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk IKN dalam skema tahun berjalan alias multi-years minimal Rp 5,9 triliun. "Kalau swasta tak tertarik pada profil risiko dan keuntungan IKN, porsinya akan jadi beban belanja pemerintah pusat.”
Bhima menilai proyek pemindahan Ibu Kota dan ibu kota baru ini terlalu dipaksakan untuk alasan politis.“Ambisi politik dalam proyek ini dominan dibanding rasionalitas ekonomi,” ucapnya. “Terkesan hanya untuk legacy pemerintah.”