Bisnis.com, JAKARTA - Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan Amerika Serikat dan China perlu memperbaiki hubungan yang selama ini dinilai disfungsional.
Sementara kedua seteru bertentangan dalam masalah-masalah seperti hak asasi manusia dan Laut China Selatan, ada persamaan yang bisa diupayakan terutama dalam sektor iklim, perdagangan, dan teknologi.
Guterres mengatakan bahwa dua negara tersebut perlu bekerja segera untuk meningkatkan hubungan dengan menciptakan jalur terpisah tentang isu-isu di mana kolaborasi antara kekuatan global sangat penting.
"Sangat penting bahwa hubungan antara China dan AS menjadi fungsional karena pada saat ini mereka benar-benar disfungsional, dan itu, tentu saja, berdampak pada kapasitas untuk memecahkan banyak masalah yang kita miliki," katanya dilansir Bloomberg, Sabtu (18/9/2021).
Guterres, mantan perdana menteri Portugal berusia 72 tahun, telah berjuang untuk menjalin kompromi diplomatik untuk beberapa titik panas dunia di tengah keretakan yang semakin dalam antara AS dan saingan utamanya, Rusia dan China.
Terpilih kembali untuk masa jabatan lima tahun kedua awal tahun ini, ia malah berfokus menyatukan dunia pada upaya memerangi perubahan iklim dan bencana lingkungan.
Baca Juga
Lebih dari 100 pemimpin dunia diperkirakan akan menghadiri Sidang Umum tahunan PBB tahun ini. Para kepala negara yang dijadwalkan menghadiri sidang tahunan antara 20-27 September itu termasuk Presiden AS Joe Biden, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Brasil Jair Bolsonaro.
Di antara yang tidak hadir adalah Vladimir Putin dari Rusia dan Xi Jinping dari China, yang secara teratur melewatkan acara PBB, serta Emmanuel Macron dari Prancis dan Ebrahim Raisi, presiden baru Iran.
Sementara itu, Guterres dan Perdana Menteri Inggris Boris Johnson akan menjadi tuan rumah pertemuan informal tertutup pada Senin pekan depan, dalam upaya untuk membuat negara-negara menyepakati komitmen yang lebih berani untuk menekan perubahan iklim.
Menjelang KTT COP26 di Glasgow, Skotlandia pada November, para pemimpin dari penghasil emisi terbesar di dunia, termasuk AS, China dan Australia, serta negara-negara pulau kecil yang menghadapi kenaikan permukaan laut telah diundang untuk ambil bagian.
"Pertemuan itu adalah peringatan. Kami berada di ambang bencana, dan ada risiko kegagalan nyata untuk COP26," katanya.
Rencana pengurangan emisi negara-negara saat ini menunjukkan bahwa kecil kemungkinan dunia dapat menghindari kenaikan pemanasan global di atas tingkat yang diperlukan untuk mencegah peristiwa cuaca yang lebih dahsyat, menurut laporan PBB baru-baru ini.
Lebih dari 70 negara, termasuk India dan China, belum mengajukan revisi proposal.
Tekanan pada negara-negara seperti India untuk berkomitmen pada target emisi nol bersih tinggi, dengan China telah mengumumkan programnya sendiri untuk 2060. India enggan berkomitmen pada batas waktu dan malah mendesak negara-negara G20 untuk membuat janji yang terfokus pada emisi per kapita.
"Negara-negara berkembang juga perlu berkomitmen lebih. Hingga saat ini negara-negara berkembang belum cukup ambisius," ujarnya.