Bisnis.com, JAKARTA -- Nama Sultan Agung, bagi orang Jawa & Indonesia umumnya, selalu memantik kontroversi. Dia adalah seorang ksatria dari Selatan Jawa. Raja Mataram Islam keempat, yang menjadi penguasa tunggal di Jawa bagian Tengah, Priangan, Madura dan sebagian besar Jawa Timur.
Sejarah Jawa memang selalu melahirkan kerajaan dan para penakluk yang cukup legendaris. Kisah-kisahnya bahkan tak kalah dari kegemilangan bangsa Turki Usmani. Pada periode klasik, misalnya, ada negeri Medang (Mataram Kuno), Singosari, hingga Majapahit.
Majapahit bahkan, kalau benar klaim kekuasaannya meliputi kepulauan Nusantara hingga ke Jazirah Melayu, wilayahnya lebih besar dibandingkan Turki Usmani. Itu kalau benar.
Persoalannya, tak banyak catatan yang ‘sahih’ untuk mendukung argumentasi tersebut. Selain itu, kondisi Jawa abad ke 15 dan 16 sedang dalam transisi relatif tidak stabil. Hal itu ikut mengubur jejak ‘kegemilangan’ Majapahit.
Sebaliknya, Jawa pasca Majapahit juga tak banyak melahirkan penakluk ulung. Demak misalnya, meski tampil sebagai kekuatan utama waktu itu, kerajaan ini tak bisa sebesar pendahulunya. Jepara juga sama. Apalagi Pajang.
Baru pada masa Mataram, tepatnya setelah Sultan Agung memegang tampuk kekuasaan, wilayah Jawa mulai dikonsolidasikan satu demi satu. Jawa bagian tengah mulai disatukan. Wilayah pesisir, Lumajang, Madura, Surabaya, hingga Priangan juga takluk di bawah panji Mataram.
Baca Juga
Ada catatan khusus soal Blambangan. Pasukan Mataram berhasil menaklukkan Blambangan pada tahun 1640. Tetapi sifat penaklukan tak seperti daerah lainnya. Situasi Blambangan relatif tidak stabil dan oleh pasukan Mataram hanya dibakar dan dihancurkan.
Setelah sebagian besar Jawa takluk, Sultan Agung mulai mengincar wilayah Barat. Banten sebenarnya menjadi sasaran. Namun, sebelum masuk ke wilayah penghasil lada, dia mengalihkan perhatian ke kota pelabuhan Sunda Kelapa, atau waktu itu dikenal sebagai Batavia. Tempat sekelompok orang Belanda di bawah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) bercokol.
Sultan Agung menyiapkan ekspedisi untuk menyerang Batavia. Pasukan disiapkan dan mengepung benteng milik VOC itu. Persiapan kurang matang. Usaha pertamanya gagal.
Namun Sultan tak patah arang. Persiapan penaklukan kedua dilakukan. Kondisi pasukannya lebih siap dibandingkan ekspedisi militer pertama. Lagi-lagi ekspansi militer Mataram yang kedua gagal. Tapi pimpinan VOC Jan Pieterszoon Coen tewas.
Kegagalan ekspedisi militer ini membawa malapetaka bagi Mataram. Banyak kerajaan bawahannya Mataram memberontak, meskipun dapat ditumpas.
Sementara itu, kegagalan Mataram semakin memperkuat kedudukan Belanda di Jawa dan kepulauan Melayu. Londo-londo ini kelak ikut campur dalam urusan internal di Mataram. Mereka juga berhasil bercokol di Jawa selama ratusan tahun, sebelum diusir Jepang pada 1942.
Bercokol bukan menjajah ya, Sejarawan M.C Ricklefs pernah bilang, VOC atau Belanda tak berani berkonfrontasi langsung dengan Mataram. Langgengnya VOC & Belanda di Jawa, justru karena kisruh internal di antara penguasa Mataram.
Para pangeran ribut rebutan kekuasaan. Keributan ini memicu perang suksesi Jawa I, 2, dan 3. Inilah yang dimanfaatkan kompeni. Mataram kemudian terbelah menjadi 3 wilayah.
Belanda, menurut sejarawan Peter Carey, baru bisa ‘menaklukan Jawa', setelah mengalahkan Pangeran Diponegoro. Itupun dengan cara licik. Kisah tragis Perang Jawa dan terbuangnya Diponegoro, kemudian mengakhiri hegemoni tradisional Jawa. Kolonialisasi Belanda mulai berlangsung.
Kembali ke Sultan Agung. Sosok penting dalam sejarah Jawa itu memang telah berhasil memberi warisan kejayaan bagi Jawa dan Nusantara. Tetapi pada saat bersamaan, dia juga masih meninggalkan cerita yang belum tuntas. Sebab, sejak kegagalannya di Batavia, wajah sejarah Jawa dan Nusantara sepenuhnya berubah.