Bisnis.com, JAKARTA — Negara kaya diprediksi menyimpan sekitar 1,2 miliar dosis vaksin Covid-19 yang mereka tidak butuhkan, di tengah program vaksin booster yang sedang diajukan. Hal ini menciptakan tekanan agar mereka berbagi dengan negara yang lebih miskin.
Dilansir Bloomberg, Minggu (5/9/2021), Amerika Serikat, Inggris dan negara Eropa telah mencatat vaksin Covid-19 telah diberikan kepada 80 persen populasi dan bahkan tengah mengajukan program suntikan booster.
Sebuah kajian independen yang dilakukan Respons Covid-19 Internasional pada tahun ini menunjukkan bahwa negara kaya seharusnya bisa membagikan lebih dari 2 miliar dosis kepada negara berpendapatan rendah hingga pertengahan 2022.
Perusahaan analis yang berbasis di London, Airfinity Ltd. menemukan dari komitmen sebanyak 1 miliar dosis yang dijanjikan negara G7 dan Uni Eropa, yang terdistribusi kurang dari 15 persen.
Rasmus Bech Hansen, Chief Executive Officer (CEO) Airfinity mengatakan negara kaya dihadapkan pilihan antara melanjutkan pemberian dosis booster atau merealokasi suplai ke negara lain.
“Data kami menunjukkan ini adalah dikotomi yang salah. Mereka bisa melakukan keduanya," ungkap hansen.
Baca Juga
Airfinity memprediksi produsksi vaksin secara global dapat mencapai 12 miliar dosis hingga akhir tahun, termasuk dari China. Angka tersebut lebih dari kebutuhan vaksinasi di dunia yang sebesar 11 miliar.
Saat ini, negara barat memiliki 500 juta dosis vaksin yang sebagian telah didistribusikan dan diperkirakan masih bisa meningkat hingga 2,2 miliar dosis hingga pertengahan 2022. Vaksin Pfizer Inc. dan BioNTech SE diperkirakan menyumbang 45 persen. Adapun Moderna dapat berkontribusi seperempatnya.
Para advokat kesehatan di dunia juga meminta adanya transparansi pada perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah dan produsen.
Terlalu sedikitnya stok vaksin yang didistribusikan, meningkatkan kekhawatiran semakin sulitnya dunia melawan varian delta.
“Perlu ada perhitungan global yang mendesak. Kita perlu mengalihkan dosis kepada mereka yang membutuhkan dan membuka semua kontrak,” kata Fatima Hassan, pendiri dan direktur Inisiatif Keadilan Kesehatan, sebuah organisasi nirlaba di Cape Town.
Sementara itu, negara berkembang dan berpendapatan rendah lainnya bergantung dengan sumbangan dari COVAX yang diinsiasi oleh WHO. Dirjen WHO Tedros Adhanom Gebreyesus mengatakan negara-negara harus menunda pemberian suntikan booster dan mengalihkannya demi akses vaksin yang adil.
Salah satu program booster yang dicanangkan Presiden Joe Biden menerima banyak penolakan, salah satunya dari Badan makanan dan Obat AS (FDA). Otoritas kesehatan di Uni Eropa juga mengungkapkan bahwa pemberian booster belum diperlukan karena rejimen suntikan Covid saat ini tetap efektif.