Bisnis.com, JAKARTA - Meski isu amendemen UUD 1945 terus bergulir setelah Presiden Joko Widodo atau Jokowi melakukan pertemuan dengan partai politik koalisi pendukung pemerintah maupun partai non-pemerintah baru-baru ini, namun sebagian kalangan meragukan agenda itu akan bisa terwujud.
Hal itu terungkap dalam diskusi bertajuk "Nasib Pemilu 2024 di tengah wacana amendemen“ yang diselenggarakan Bagian Pemberitaan DPR di Gedung Nusantara III hari ini, Kamis (2/9/2021).
Tampil jadi pembicara pada diskusi itu Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia dari Faksi Golkar, Yanuar Prihatin dari Fraksi PKB, dan pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing.
Menurut Yanuar, sepanjang aturan yang ada belum berubah, maka wacana amendemen tidak “haram” untuk dibicarakan.
Bahkan, bergulirnya isu amendemen terkait masa jabatan presiden boleh-boleh saja dibicarakan, karena hal itu merupakan hak publik untuk mengkritisinya, katanya.
“Karena itu, dalam kaitan dengan proses persiapan pemilu, PKB dan saya berpendapat seluruh partai pegangannya cuma satu. Sepanjang undang-undang belum berubah, kita tidak bisa mengandai-andai soal amendemen,” ujarnya.
Tidak Mudah
Yanuar juga mengingatkan, tidak mudah untuk melakukan amendemen, karena butuh persiapan yang panjang dan proses yang rumit.
Saat ini saja, misalnya, draf Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) masih dalam proses pembahasan di badan pengkajian MPR.
Apalagi, soal perpanjangan masa jabatan presiden yang tidak mudah untuk disepakati, karena selain memakan banyak anggaran, waktu juga terbatas.
Belum lagi kondisi saat ini ketika masyarakat masih dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang sulit ditebak kapan akan berakhir.
“Selain persiapannya harus jauh-jauh hari, tingkat kerumitannya juga tinggi,” katanya.
Emrus menyebut, bahwa pertemuan Presiden Jokowi dengan parpol pendukung maupun yang bukan pendukung pemerintah tidak otomatis berimplikasi pada wacana amendemen.
Dia menilai, presiden lebih menitikberatkan pada pembahasan persoalan bangsa, termasuk soal ekonomi dan penanganan pandemi Covid-19 yang lebih perlu mendapat perhatian.
Menurutnya, hingga kini belum ada institusi yang secara resmi mengusulkan amendemen sekalipun untuk membentuk PPHN, apalagi soal masa jabatan presiden.
Dia melihat yang ada baru wacana dari tokoh perorangan, bukan institusi.
“Dorongan yang ada saat ini belum punya daya tekan yang kuat, sehingga memungkinkan untuk amendemen dilakukan,” ujarnya.
Tak Ada Urgensi
Emrus juga menilai, tidak ada urgensinya melakukan amendemen saat ini, karena masyarakat lebih konsentrasi memikirkan ekonomi di tengah merebaknya wabah Covid-19.
Sebelumnya, isu amendemen bergulir setelah Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung dengan partai pendukung pemerintah.
Manuver itu membuat partai pemerintah yang terdiri dari tujuh parpol menguasai 471 kursi di DPR atau 82 persen dari 575 anggota DPR, sehingga memiliki kekuatan untuk melakukan amendemen melalui MPR.
Selain itu, Presiden Jokowi juga mengundang parpol non-pemerintah.