Bisnis.com, JAKARTA – Dalam waktu yang terbilang singkat, Amerika Serikat menghadapi dua persoalan berat dan rumit di Afganistan. Hal ini akan benar-benar menguji kebijakan politik luar negeri Presiden Joe Biden terhadap negara yang selama dua dekade lebih ‘dibina secara mendalam’ oleh Paman Sam tersebut.
Persoalan pertama, kelompok Taliban muncul kembali sebagai kekuatan pengendali. Kedua, hadirnya ISIS dengan serangan bom mematikan di Bandara Kabul yang juga menewaskan sejumlah tentara AS.
Kedua peristiwa tersebut seolah ingin menyambut kepergian militer AS dan sekutunya setelah hampir 20 tahun berada di bumi Afganistan untuk ‘mengajarkan’ demokrasi bernegara dan sekaligus mengawalnya dari ancaman Taliban.
Namun sebuah ‘kado’ yang tak terduga muncul begitu cepat dan langsung menyentak rasa ‘nasionalisme’ Amerika. Persoalannya, belum bisa dibaca akan seperti apa ‘kebijakan baru’ Gedung Putih terkait dengan dua fenomena menyentak di Afganistan itu, selain sikap keras yang disampaikan oleh Joe Biden untuk membalas pelaku serangan bom yang disebut-sebut dilakukan oleh kelompok ISIS-K.
Energi politik luar negeri AS kini tampaknya terpusat untuk segera melakukan aksi pembalasan, sehingga dalam batas-batas tertentu harus melihat munculnya kembali Taliban sebagai fakta politik yang sulit dibantah.
Di sisi lain, kita bisa melihat bahwa kehadiran pasukan asing (AS dan sekutunya) di Afganistan dalam periode yang cukup lama ternyata belum mampu juga membuat keamanan dan demokrasi negara itu kondusif.
Secara politik memang akan sulit sekali membuatnya demikian, karena kehadiran kekuatan militer asing di sana justru menjadikan situasi bertambah runyam. Perpecahan dan permusuhan internal antar suku kian sulit didamaikan, bahkan terpolarisasi makin tajam.
Bisa dikatakan politik di Afganistan dalam kondisi siap meledak setiap saat. Sangat eksplosif, dan itu kian terbukti hari-hari ini. Respons keras AS terhadap pelaku pemboman akan membuatnya semakin berantakan dan kusut, karena tentara ISIS tidak mengenal negara.
Mereka bisa berpetualang ke mana-mana dan kini Afganistan tampaknya menjadi salah satu medan operasi tempur baru yang langsung berhadapan dengan Paman Sam.
Dilema AS di Afganistan juga bakal membawa implikasi baru bagi politik di kawasan itu. Kemunculan kembali Taliban dalam panggung politik merupakan tamparan keras bagi AS. Alhasil, membiarkan kelompok tersebut berada di agenda prioritas berikut setelah memukul ISIS akan sama saja artinya dengan ‘ikut membesarkannya’.
Bila demikian, Taliban seperti mendapat berkah tersembunyi, sehingga dapat melakukan konsolidasi untuk memperkuat cengkeraman politiknya. Selain itu, bila ISIS ingin membuka front pertempuran baru melawan Barat (AS) di Afganistan maka negara itu bisa menjelma menjadi medan perang mengerikan. Seperti halnya AS ketika berada di Irak untuk mendongkel Saddam Hussein dengan berbagai dampak sistemiknya.
Dari kaca mata ISIS, membuka medan laga baru di Afganistan mungkin tidak terlalu sulit dilakukan, karena negara itu saat ini bisa dikatakan dalam kondisi ‘tak bertuan’.
Selanjutnya, bila bom mematikan di Bandara Kabul adalah ‘salam pendahuluan’ dari ISIS untuk menggolkan agenda politik yang lebih ambisius, yaitu sebagai penguasa baru di Afganistan, maka ia akan menjadi Suriah Kedua.
Konstelasi politik kawasan akan berubah total karena di wilayah itu ada dua sekutu penting AS yang sejatinya juga saling bersaing, yaitu Pakistan dan India. Belum lagi sikap Rusia yang kali ini cenderung mendukung Taliban dalam memulihkan keamanan di dalam negerinya.
Genting Afganistan kian mencekam.