Strategi Militer
Aspek pragmatisme Taliban lain yang bisa disebut adalah mengawinkan sukses di medan perang dengan sukses di meja perundingan, paling tidak dengan mengelola waktu demi mencegah manuver militer dari musuh utama (Amerika Serikat) yang memang sudah ingin meninggalkan Afghanistan setelah menghabiskan US$2 triliun (Rp28.794 triliun) selama 20 tahun bercokol di negeri ini.
Taliban pun mematuhi syarat-syarat AS di meja perundingan, tetapi di lapangan mereka melancarkan ofensif militer yang terukur.
Ketidakhadiran Pemerintah Afghanistan dalam meja perundingan yang diperantarai Qatar telah dimanfaatkan betul oleh Taliban untuk membuat pemerintah dan militer Afghanistan mengalami disorientasi, sehingga selalu kehilangan momentum dalam menjawab aksi Taliban.
Menurut Jensen, strategi militer Taliban berpijak kepada empat hal, yakni:
1. Mengisolasi militer Afghanistan, sehingga rantai komando mereka terputus tak bisa berkomunikasi,
2. Memadukan ancaman dan seruan untuk memutus dukungan publik kepada pemerintah, 3. Menerapkan bentuk baru teror dengan cara membunuh sasaran-sasaran penting seperti komandan-komandan militer dan para pilot pesawat tempur Afghanistan di rumahnya sehingga mesin-mesin perang tak bisa dioperasikan manakala pasukan darat Afghanistan membutuhkan dukungan udara, dan
4. Bernegosiasi untuk mengulur-ulur waktu sembari terus melancarkan manuver militer tanpa melanggar komitmen tidak menyerang pasukan AS.
Metode ini menunjukkan Taliban beradaptasi baik dengan situasi yang berbeda dengan saat mereka pertama kali berkuasa pada 1996.
Pragmatisme ini mencerminkan pemahaman Taliban bahwa mereka paham Afghanistan era ini tak bisa ditaklukkan dengan memakai cara-cara era 1990-an.