Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memutuskan tidak memasukkan indikator kematian sebagai pertimbangan menurunkan level Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM Level 4 menjadi 3 di beberapa wilayah. Keputusan itu diumumkan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, Senin, 9 Agustus 2021.
Guru Besar di Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Tjandra Yoga Aditama, memberikan beberapa catatan mengenai kebijakan tersebut. “Ada lima tanggapan sesuai informasi angka kematian dan penilaian situasi atau levelnya,” ujar dia saat dihubungi, Rabu (11/8/2021).
Pertama, menurut Tjandra Yoga, kematian tentu adalah hal amat penting, karena kalau sudah meninggal tentu tidak bisa kembali lagi. Tanggapan kedua, untuk berbagai penyakit di dunia, data kematian merupakan indikator epidemiologik utama.
Ketiga, Tjandra Yoga yang merupakan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara periode 2018-2020 itu melanjutkan, angka kematian di Indonesia yang tinggi. Pada waktu India sedang tinggi-tingginya kasus, dia menambahkan, jumlah kematian paling tinggi sekitar 5 ribu sehari.
“Penduduk India 4 kali Indonesia, jadi kalau jumlah kematian kemarin, per 10 Agustus, adalah 2 ribu orang, maka kalau dikali 4 angkanya menjadi 8 ribu,” tutur Tjandra Yoga.
Sementara, tanggapan keempat, pada waktu awal PPKM Darurat tanggal 3 Juli, jumlah yang meninggal sehari adalah 491 orang. Artinya, angka 10 Agustus adalah 4 kali angka hari pertama awal PPKM darurat.
Baca Juga
Tanggapan kelima, mengenai indikator angka kematian per 100 ribu penduduk per minggu merupakan salah satu variabel dalam penentuan PPKM Level 4, 3, dan seterusnya yang sekarang dipakai, sesuai Surat Keputusan Menteri Kesehatan.
“Jadi, indikator angka kematian memang diperlukan dalam penilaian situasi epidemiologi. Kalau data yang tersedia dianggap tidak baik, maka datanya yang harus diperbaiki,” kata dia.
Sementara Guru Besar Ilmu Peyakit Dalam FKUI, Ari Fahrial Syam, menerangkan, bahwa hal itu perlu dipelajari terlebih dahulu. Menurutnya, jika ada pendataan yang tidak pas, maka akan mempengaruhi data secara keseluruhan. “Itu bisa tidak valid,” ujar dia dihubungi terpisah.
Namun, Dekan FKUI itu menambahkan, perlu alasan yang tepat jika ingin menghilangkan indikator kematian. Karena, Ari berujar, angka kematian termasuk ke dalam mortality rate, artinya sangat penting. “Angka kematian selalu disebut, karena berkaitan dengan suatu penyakit. Kita tidak boleh mengabaikannya,” katanya lagi.
Selain itu, menurut Ari, angka kematian penting untuk mengidentifikasi varian Covid-19 baru, khususnya yang mematikan. “Juga untuk mengamati tingkat fasilitas kesehatan yang bisa menangani kasus berat. Jadi harus ada alasan yang tepat.”