Bisnis.com, JAKARTA - Partai politik terbesar Tunisia menyerukan dialog untuk menyelesaikan krisis politik setelah berhenti mendesak anggota parlemen dan pendukungnya untuk menggelar aksi protes ke gedung parlemen di ibu kota Tunis sejak Senin (26/7/2021).
Dalam sebuah pernyataan yang diterbitkan kemarin, partai Islam Ennahda menegaskan kembali bahwa mereka menganggap keputusan Presiden Kais Saied untuk membekukan parlemen dan memecat perdana menteri sebagai "tidak konstitusional".
Mereka kini memilih pendekatan yang lebih damai dengan menyerukan Saied untuk membalikkan langkah tersebut seperti dikutip Aljazeera.com, Rabu (28/7/2021).
Tunisia, yang disebut-sebut sukses menghadapi revolusi Musim Semi Arab 2010, menghadapi ketidakpastian politik yang mendalam setelah presiden membekukan parlemen selama 30 hari. Presiden juga memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi di tengah meningkatnya kasus Covid dan ekonomi yang goyah.
Mechichi pada Senin malam mengumumkan akan menyerahkan tanggung jawab kepada siapa pun yang dipilih presiden "untuk menghindari konflik lebih lanjut pada saat negara perlu bersatu untuk keluar dari situasi krisis ini".
Keputusan Saied muncul setelah protes anti-pemerintah terjadi di seluruh negeri yang didorong oleh salah urus pemerintah terhadap krisis Covid-19. Selain itu, juga ada stagnasi ekonomi di samping meningkatnya biaya hidup dan frustrasi dengan polititisi yang terlibat dalam pertikaian.
Baca Juga
Keputusan presiden disambut dengan kegembiraan, dengan puluhan ribu warga Tunisia turun ke jalan di seluruh negara Afrika utara itu. Bendera partai Ennahda dibakar dan kantor partai menjadi sasaran di beberapa bagian negara.
Sebelumnya Rachid Ghannouchi, ketua parlemen dan pemimpin Ennahda, meminta anggota parlemen dan pendukungnya untuk melakukan aksi duduk di luar parlemen dan mengecam "kudeta" presiden setelah banyak anggota parlemen ditolak aksesnya ke parlemen oleh tentara pada Senin.