Bisnis.com, JAKARTA – Olimpiade Tokyo, yang tertunda setahun, sudah di depan mata. Dihelat mulai 23 Juli hingga 8 Agustus 2021. Itulah Olimpiade Musim Panas 2020 yang secara resmi dikenal dengan Games of the XXXII Olympiad.
Ia adalah ajang olahraga internasional yang semula dijadwalkan untuk digelar di Tokyo, Jepang pada 24 Juli—9 Agustus 2020. Pada Maret 2020, Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan untuk menunda olimpiade selama setahun karena pandemi virus corona.
Sejauh ini, IOC menyatakan bahwa olimpiade musim panas ini akan dibuka pada 23 Juli 2021, tepat satu tahun dari jadwal semestinya. Tokyo terpilih sebagai kota tuan rumah dalam sidang IOC ke-125 di Buenos Aires, Argentina, pada 7 September 2013.
Kota-kota kandidat penyelenggara Olimpiade Musim Panas 2020 lainnya adalah Madrid (Spanyol) dan Istanbul (Turki). Kedua kota ini memperoleh jumlah suara sama pada seleksi babak pertama tetapi Madrid tereliminasi pada babak penentuan.
Begitu sengit memang pertarungan menjadi tuan rumah olimpiade. Reputasi sebuah bangsa benar-benar dipertaruhkan untuk membuat pesta olahraga dunia yang lebih baik dari sebelumnya. Citius. Altius. Fortius.
Pengalaman negara lain yang lebih dulu tampil sebagai tuan rumah layak juga menjadi pelajaran. China misalnya, ketika negara itu menggelar Olimpade Beijing 2008. Apa yang menarik?
Negara itu menghabiskan tak kurang dari US$1,9 miliar untuk membangun gedung dan US$42 miliar untuk infrastruktur perkotaan lainnya. Untuk menyiapkan standar baru olimpiade, 1,5 juta rakyat China harus keluar dari rumah dan memberi kesempatan bagi proyek-proyek gedung serta pembenahan lainnya.
Langkah drastis yang dalam kondisi normal nyaris tak mungkin dilakukan juga ditempuh. Sedikitnya 200 pabrik pencemar ditutup dan sekitar 90% air limbah di Beijing dibersihkan.
Tujuannya adalah untuk mengalahkan semua tuan rumah olimpiade sebelumnya dalam standar artistik upacara resmi, arsitektur tempat, dan jumlah medali emas yang dimenangkan. Dan China berhasil meraih semua impiannya.
Apa yang dunia harapkan dari Sang Naga pada dekade-dekade mendatang adalah duplikasi kesuksesan ini dalam kinerja ekonomi dan daya saing (John Naisbitt, 2010).
Dalam US Council on Competitive Index, Michael Porter menulis bahwa tujuan utama daya saing adalah kemakmuran rakyat suatu bangsa. Menjadi bangsa paling kompetitif di dunia tersebut senafas dengan China dalam tiga hal.
Pertama, bertujuan mencapai kemakmuran sederhana bagi seluruh penduduknya. Kedua, negara dikelola seperti perusahaan, dipimpin oleh kepemimpinan kuat yang menetapkan tujuan jangka panjang melalui kerja sama vertikal top-down dan bottom-up dengan proses pengambilan keputusan yang semakin demokratis.
Ketiga, kesejahteraan umum adalah kepentingan bersama pemimpin dan para pekerja.
Perekonomian abad ini akan berpihak pada negara yang memanfaatkan pasar global. Bangsa mana yang memiliki posisi awal lebih baik dibandingkan dengan ‘bengkel dunia’ tersebut?
Porter bisa menjadi rujukan lagi. Dalam Competitive Report 2006, penulis Competitive Advantage itu menekankan bahwa ekonomi akan berpihak pada negara yang bersedia merangkul aneka budaya dan menyerap keanekaragaman gagasan mereka ke dalam proses inovasi.
Hal ini akan dipicu oleh perpaduan berbagai bidang teknis dan kreatif serta perkembangan penelitian, kreativitas, kesenian, dan pemikiran mutakhir.
“Konsep-konsep tersebut adalah kekuatan dan keunggulan kompetitif Amerika. Dulu khas milik Amerika,” ujar Naisbitt.
Lalu apa resep jitu atas semua pencapaian itu?
“Pelajari pengendalian biaya dari orang Jepang. Ketegasan dari orang Korea. Akurasi teknologi dari orang Jerman dan keterampilan pemasaran dari orang Amerika,” kata Yin Tongyao, pemimpin salah satu sekolah bisnis termuka di China, suatu ketika.