Bisnis.com, SEMARANG - Pasal yang mengatur soal penghinaan bendera menjadi salah satu pasar kontroversial pada RUU KUHP.
Terkait hal itu, pakar hukum dari Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Faisal Santiago mengatakan pasal penghinaan terhadap bendera negara, khususnya mengibarkan bendera Merah Putih yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam, tidak perlu ada di dalam RUU KUHP.
Dia mencontohkan, pasal itu bisa menjerat warga miskin yang karena kondisinya tidak memiliki bendera yang layak. Lalu, karena dorongan nasionalismenya orang tersebut dipidana karena mengibarkan bendera yang sudah kusam.
"Bisa dibayangkan seseorang karena ketidakmampuan membeli bendera baru apakah harus dipidana, padahal yang bersangkutan sangat ingin mengibarkan bendera Merah Putih, misalnya pada Hari Kemerdekaan 17 Agustus," kata Prof Dr H Faisal Santiago menjawab pertanyaan Antara dari Semarang, Rabu (30/6/2021) pagi.
Di sisi lain, Prof Faisal menegaskan pemidanaan wajib ditegakkan terhadap orang yang menodai bendera Merah Putih.
Dia menegaskan apabila seseorang menodai bendera Merah Putih dengan cara menginjak-injak dengan sengaja, membakar, dan menodai dengan hal-hal yang bertentangan dengan hukum maka wajib dipidana.
Faisal mengemukakan hal itu terkait dengan pemidanaan terhadap setiap orang yang mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam, sebagaimana termaktub dalam Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Pasal 235 Huruf b.
Bagi pelanggar ketentuan itu terancam pidana denda paling banyak Rp10 juta. Pasal ini juga mengancam pidana denda terhadap pemakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial.
Selain itu, mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara juga terancam pidana denda.
Pidana denda juga mengancam setiap orang yang memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
Faisal yang menjabat Ketua Prodi Doktor Hukum Unbor itu juga memandang penting ada ketentuan pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang melakukan tindak pidana terkait dengan pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara.
"Pejabat negara adalah panutan atau menjadi teladan bagi masyarakat untuk mengikutinya, bukan mencontohkan hal-hal yang tidak baik," katanya.
Faisal lantas mencontohkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari yang terjerat kasus korupsi terkait dengan kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA). Hukuman terhadap Jaksa Pinangki ini seharusnya diperberat, bukan malah sebaliknya.
Majelis Banding Pengadilan Tinggi Jakarta pada tanggal 14 Juni 2021, kata Prof Faisal, malah mengurangi putusan Jaksa Pinangki menjadi 4 tahun dan denda sebesar Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.
Sebelumnya, vonis Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 8 Februari 2021 memvonis Jaksa Pinangki pidana penjara selama 10 tahun penjara ditambah denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan.
"Pemberatan pidana terhadap pejabat negara yang terbukti melanggar pasal-pasal penodaan terhadap bendera negara perlu ada dalam UU KUHP baru," kata Guru Besar Hukum Unbor Faisal Santiago.
Pasal tentang penghinaan terhadap bendera merupakan bagian dari RUU KUHP BAB V tentang tindak pinda terhadap ketertiban umum.
Bagian kesatu bab tersebut berisi tentang pasal penghinaan terhadap simbol negara, pemerintah,
dan golongan penduduk.
Pada Pasal 234 disebutkan, "Setiap Orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau
melakukan perbuatan lain terhadap bendera negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan bendera negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori V.
Pasal 235
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:
a. memakai bendera negara untuk reklame atau iklan komersial;
b. mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain atau memasang lencana atau benda apapun pada bendera negara; atau
d. memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus Barang, dan tutup Barang yang dapat menurunkan kehormatan bendera negara.
Pasal 236
Setiap Orang yang mencoret, menulisi, menggambar atau menggambari, atau membuat rusak lambang negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan lambang negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
Pasal 237
Dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori II, Setiap Orang yang:
a. menggunakan lambang negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai lambang negara; atau
c. menggunakan lambang negara untuk keperluan selain yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang.
Terkait besaran denda diatur dalam Pasal 78 dan 79 berikut:
Pasal 78
(1) Pidana denda merupakan sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus, pidana denda ditetapkan paling sedikit Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah).
Pasal 79
(1) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan:
a. kategori I, Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah);
b. kategori II, Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
c. kategori III, Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);
d. kategori IV, Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
e. kategori V, Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
f. kategori VI, Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
g. kategori VII, Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah); dan
h. kategori VIII, Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).