Bisnis.com, JAKARTA - Setara Institute menilai pelabelan pemerintah terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua sebagai teroris menggambarkan ketidakcakapan pemerintah dalam mengelola dan meniti resolusi konflik di Papua.
Selain itu, hal itu juga mencerminkan ekspresi sikap putus asa pemerintah yang tidak kunjung tuntas menangani kelompok perlawanan Papua.
“Bukannya membangun dialog Jakarta-Papua dan mengurangi pendekatan keamanan, pemerintah justru mempertegas pilihan kekerasan bagi penanganan Papua,” kata Ketua SETARA Institute Hendardi dalam keterangn resmi, Kamis (29/4/2021).
Lebih lanjut, dia menilai bahwa langkah pemerintah malah mempercepat dan memperpanjang spiral kekerasan dan rentan menimbulkan pelanggaran HAM yang serius.
Pasalnya, sama seperti penamaan KKB yang merupakan produk negara, penamaan teroris juga dilakukan untuk melegitimasi tindakan-tindakan represif dan pembenaran operasi secara masif di Papua.
Kemudian, sambungnya, kegagalan aparat keamanan dalam melumpuhkan kelompok bersenjata selama ini lebih dikarenakan kekurangan dukungan dan kepercayaan dari masyarakat setempat.
“Pelabelan teroris dan tindakan operasi lanjutannya adalah kebijakan terburuk Jokowi atas Papua,” ujar Hendardi.
Dia mengatakan bahwa pelabuhan teroris pada KKB setidaknya akan menimbulkan tiga implikasi yaitu pertama, menutup ruang dialog Jakarta-Papua yang direkomendasikan oleh banyak pihak sabagai jalan membangun perdamaian.
Kedua, meningkatnya eskalasi kekerasan yang berdampak langsung pada rakyat Papua seperti terpaksa mengungsi untuk mencari selamat, kehilangan penghasilan ekonomi, anak-anak tidak bersekolah, kesehatan dan sanitasi lingkungan terganggu serta hal lain-lain.
Ketiga, pelabelan terorisme membuka terjadinya pelembagaan rasisme dan diskriminasi berkelanjutan atas warga Papua secara umum, mengingat tidak jelasnya definisi siapa yang dinyatakan teroris.
Selain itu, melabeli KKB Papua sebagai teroris juga akan menutup kesempatan Jokowi dan pemerintah untuk membangun Papua secara humanis.
Padahal, revisi UU Otonomi Khusus Papua bisa menjadi momentum mendialogkan isu-isu krusial Papua, termasuk soal penanganan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat.