Bisnis.com, JAKARTA - Industri di sektor pariwisata, khususnya hotel dan restoran menjadi salah satu sektor yang paling terdampak akibat pandemi Covid-19. Apalagi pendapatannya sangat bergantung dari pergerakan manusia yang justru di masa pandemi ini sangat dibatasi.
Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan bahwa di masa pandemi ini industri di sektor pariwisata benar-benar sulit untuk bisa produktif karena sangat bergantung pada pergerakan orang yang sayangnya begitu dibatasi pada saat ini.
Berbeda dengan industri di sektor manufaktur yang masih bisa berproduksi dan ekspansi karena permintaan dan konsumsi masyarakat yang mulai pulih.
Untuk itulah, terkait dengan pemberian THR, dia berharap adanya aturan khusus atau pengecualian yang diberikan bagi sektor yang benar-benar terdampak, seperti industri hotel dan restoran. Sebab, jangankan untuk membayar THR untuk menggaji karyawan saja saat ini sudah sulit.
“Banyak karyawan hotel yang di rumahkan tanpa digaji atau unpaid leave tetapi kita tidak memecat mereka, itu bagaimana formulasinya. Begitu pula karyawan yang bekerja, pun mereka tidak bekerja secara penuh dalam seminggu karena ada sistem shift, itu juga formulasinya seperti apa,” ujarnya.
Dia berharap pemerintah tidak memukul rata kondisi perusahaan di masa pandemi ini seperti halnya dalam kondisi normal. Perlu ada aturan khusus yang menyentuh langsung sektor tertentu khususnya yang benar-benar terkena dampak pandemi.
Baca Juga
Memang ada klausul yang membuka peluang negosiasi tetapi hanya menunda waktu pembayaran dari H-7 menjadi H-1, serta tidak boleh dicicil. “Kalau memang perusahaan masih sanggup silakan negosiasi, tetapi kami apa yang mau dinegosiasikan bahkan untuk kebutuhan pokok saja tidak bisa dipenuhi seluruhnya,” tutur Maulana.
Menurutnya, dalam kondisi ini negara seharusnya dapat hadir membantu masyarakat yang tidak bisa menerima THR karena kondisi keuangan perusahaan yang benar-benar sulit melalui bantuan langsung tunai (BLT) yang diberikan langsung kepada para karyawan.
Sebab, tidak mungkin pelaku usaha harus dipaksa kembali menanggung beban yang bahkan dalam masa lebih dari setahun ini saja sudah sangat kesulitan untuk bisa bertahan hidup karena tidak adanya pergerakan ke daerah wisata.
“Tidak bisa mengharapkan dari pengusaha dan ngga mungkin juga pengusaha harus berutang untuk membayar THR karena kita juga belum tahu kapan kondisi akan kembali pulih. Kami berharap pemerintah memberi insentif berupa BLT yang diberikan kepada karyawan kami sebagai pengganti THR,” tuturnya.
Sebab, berbagai relaksasi yang diberikan tetap tidak terlalu berpengaruh besar karena sektor pariwisata ini sangat bergantung pada pergerakan orang yang di masa pandemi ini sangat banyak pembatasan.
“Seharusnya ada kebijakan khusus untuk sektor pariwisata ini, tidak bisa hanya mengandalkan surat edaran yang ada karena itu akan membingungkan di lapangannya. Harus ada win-win solution sebagai jalan keluar. Pemerintah sebagai fasilitator harus bisa melihat kondisi real di lapangan bukan hanya sekadar mengeluarkan aturan,” ujarnya.