Bisnis.com, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) kembali akan memulai perundingan Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana atau Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters (MLA) dengan Prancis.
"Kita akan mulai membahas persiapan perundingan pertama MLA antara Indonesia dengan Prancis" kata Dirjen AHU, Cahyo R Muzhar, dikutip dari laman resmi Ditjen AHU, Sabtu (24/4/2021).
Cahyo menuturkan, awal tahun 2012 dan 2014, Prancis sudah pernah berinisiatif untuk melakukan perjanjian dengan Indonesia dan menjadi negara ke dua di Eropa yang akan melakukan perjanjian MLA dengan Indonesia.
Walaupun perundingan pertama ini dilakukan secara virtual. Cahyo berharap para delegasi dapat mengikutinya secara lengkap. Pasalnya, dengan adanya delegasi yang banyak berpartisipasi akan menunjukan keseriusan dalam melakukan perundingan.
"Ini perundingan pertama yang dilakukan secara virtual dan diikuti oleh para delegasi " ucapnya
Selain partisipasi para delegasi, kewenangan kementerian dan lembaga terkait juga dapat memastikan bahwa semua stakeholder terakomodir dalam delegasi Indonesia supaya dapat dipastikan perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama dengan melibatkan semua pihak.
Baca Juga
"Keterlibatan stakeholder dalam delegasi Republik Indonesia dengan Prancis agar bersama sama dapat memastikan perjanjian dapat dilaksanakan secara efektif dan sempurna" ujarnya.
Dia menambahkan perjanjian MLA antara Indonesia dan Prancis memiliki arti penting bagi Indonesia dan Prancis. Apalagi kedua negara baru saja memperingati hubungan diplomatik dan mengoptimalkan upaya kerja sama penegak hukum lintas negara dengan membuat sebanyak-banyaknya perjanjian bilateral MLA.
"Ini adalah upaya kerja sama dengan negara yang berpotensi menjadi tempat penyimpanan aset hasil tindak pidana" pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Hukum Pusat Pelapor Analisi Transaksi Keuangan (PPATK) Fitrihadi Muslim menjelaskan bahwa Indonesia masih masih memiliki kekurangan dalam membekukan aset hasil kejahatan.
Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memiliki keterbatasan dalam pembekuan aset didalam proses penyusunan UU nomor 8 tahun 2010.
Pihaknya kemudian mendorong agar UU memberikan kewenangan untuk pembekuan aset ini, tidak hanya di penegak hukum tapi sampai ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mendorong NPK untuk diberikan kewenangan lebih terhadap pemantauan transaksi yang mencurigakan.
Adapun Asisten Koordinator Kamar Pembinaan Mahmkaah Agung (MA) Edy Wibowo menuturkan dalam tindakan penelusuran aset dan transaksi keuangan berdasarkan permintaan laporan hasil analis kepada PPATK diperkuat kewenangan penyidikan dan penuntutan umum.
Salah satunya adalah dapat memerintahkan kepada bank atau lembaga keungan non bank dan instansi terkait lainnya untuk memblokir rekening dan atau aset tersangka, terdakwa yang diduga terkait dengan TPK/TPPU dengan jangka waktu penyidikan selambat-lambatnya 120 hari.