Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud “kecolongan” karena tak memasukkan secara eksplisit mata pelajaran Pancasila dan dan Bahasa Indonesia sebagai pelajaran wajib. Pengamat menyebut wajar jika masyarakat memanas.
Pengamat Pendidikan Andreas Tambah menyebut, pada PP Nomor 57 tahun 2021 memang tidak disebutkan terkait Pancasila dan Bahasa Indonesia. Namun, ternyata ada UU lain yang memuatnya, yaitu UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi.
“Pada [UU Nomor 12 Tahun 2012] Pasal 35 ayat 3 disebutkan bahwa materi wajib diantaranya adalah Bahasa Indonesi dan Pancasila, dan seterusnya, secara tegas tertulis di sana,” jelas Andreas kepada Bisnis, Minggu (18/4/2021).
Sementara, di UU yang juga berkaitan, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional, pada pada Pasal 4 dan Pasal 36-37 bahwa dalam kurikulum baik pendidikan dasar dan perguruan tinggi tidak ditegaskan mengenai Bahasa Indonesi dan Pancasila.
Tertulis pada pasal tersebut hanya Bahasa dan Kewarganegaraan. Hal ini sama persis dengan di PP Nomor 57 Tahun 2021.
“Bila PP Nomor 57 Tahun 2021 dibandingkan dengan UU Nomor 12 Tahun 2012, maka wajar saja jika bagi pihak yang mendesak mencabut PP tersebut bersikap/berpendapat seperti itu,” kata Andreas.
Baca Juga
Namun, bila PP Nomor 57 tahun 2021 dibandingkan dengan UU Nomor 20 Tahun 2003, menurut Andreas tidak ada masalah.
“Saran saya, sebaiknya UU atau PP yang saling terkait tidak bertentangan. Sebaiknya Komnasdik perlu memberikan masukan yang terkait dengan hal tersebut,” ujarnya.
Selain itu, merespons terkait Nadiem yang terlihat “kecolongan” dengan langsung memberikan klarifikasi bahwa ada mispersepsi dan akan langsung mengajukan revisi, Andreas mengatakan bahwa staf ahlinya harus kerja lebih keras.
“Ke depannya dibutuhkan ketelitian yang tinggi dan diperlukan komunikasi yang baik dengan para pakar. Karena ada beberapa produk hukum yang terdahulu memang tidak sinkron,” ujarnya.
Kedua, imbuhnya, perlu ada uji materi oleh pihak lain diluar Tim Kemendikbud sebelum PP/Peraturan Menteri dan lainya disahkan.
“Mengenai sikap Mas Menteri, memang sebaiknya tidak reaktif seperti itu, perlu kemukakan argumenya juga,” tambahnya.