Bisnis.com, JAKARTA - Pada 18 Agustus 5 tahun silam, Kementerian Luar Negeri melalui akun twitter MoFA Indonesia @Kemlu_RI menulis soal foto sebuah rumah tua.
"Rumah di Cikini Raya Jakarta, masih tegak berdiri, di sini awal Kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia," demikian tertulis pada akun tersebut terkait rumah yang berdiri di Jalan Cikini Raya No. 80-82 tersebut.
Sementara, pada 19 Agustus di tahun yang sama, Kantor berita Antara melalui situs antaranews.com memberitakan soal napak tilas di rumah yang tak lain kediaman Menlu RI pertama Achmad Soebardjo.
Antara menulis bahwa Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melakukan napak tilas di kediaman Menlu RI pertama Ahmad Soebardjo di Cikini, Jakarta Pusat, dalam rangka Ulang Tahun Kemlu ke-71.
"Selain rumah tinggal, kediaman ini juga kantor pertama Kemlu yang menjadi saksi hidup berdirinya Kemlu," kata Menlu Retno di Kediaman Ahmad Soebardjo, Cikini Jakarta Pusat, Jumat (18/7/2016).
Presiden Soekarno menunjuk Mr Ahmad Soebardjo sebagai menteri luar negeri pertama pada 17 Agustus 1945, dan pada 19 Agustus 1945 Kemlu berdiri.
Baca Juga
Menlu Retno menceritakan bahwa Ahmad Soebardjo, saat itu melakukan tugasnya hanya dengan dibantu sepuluh staf.
"Padahal tugas beliau saat itu sangat berat, yaitu mencari atau memintakan pengakuan dari negara-negara lain atas kemerdekaan Indonesia," kata dia.
"Semangat beliau menjadi inspirasi bagi para diplomat masa kini akan pentingnya diplomasi sebagai tiang penyangga Republik Indonesia," kata Retno kala itu.
Ahmad Soebardjo dua kali menjabat sebagai Menlu RI di masa Presiden Soekarno, yakni pada 1945 selama empat bulan (Agustus-Desember) dan pada 1951-1952.
Di lingkungan internal Kemlu, Ahmad Soebardjo adalah pendiri Pusat Pendidikan dan Pelatihan bagi diplomat Kemlu.
Selain itu, Ahmad Soebardjo pernah menjabat sebagai duta besar RI untuk Swiss pada 1961.
Acara napak tilas di kediaman Ahmad Soebardjo juga dihadiri Wakil Menlu AM Fachir, mantan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, diplomat senior, dan para sesepuh Kemlu.
Rumah di Cikini Raya Jakarta, masih tegak berdiri, di sini awal Kantor Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pic.twitter.com/0xdADxtKqb
— MoFA Indonesia (@Kemlu_RI) August 18, 2016
Hari ini, Senin (12/4/2021) berita soal rumah Menlu Pertama RI itu kembali mengemuka. Tapi bukan terkait napal tilas, melainkan karena ada iklan bahwa lahan tersebut akan dijual.
Pihak Kementerian Luar Negeri pun memberi tanggapan terkait iklan lahan di Menteng, Jakarta Pusat, tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mengatakan lahan tersebut milik ahli waris Mr. Achmad Soebardjo, bukan milik Kemlu.
Menurut Jubir Kemlu Teuku Faizasyah, Kementerian Luar Negeri yang di masa itu masih disebut Departemen Luar Negeri memang pernah berkantor di lokasi tersebut sekitar dua bulan.
"Digunakan oleh Deplu setidaknya dua bulan, dari Agustus sampai Oktober 1945," ujar Teuku Faizasyah.
Selanjutnya pada Oktober 1945, Deplu pindah ke Jl. Cilacap no. 4 di gedung yang dipakai bersama dengan Kementerian PP & K.
Pada bulan November 1945, kantor Deplu pindah lagi ke Jl. Pegangsaan Timur no. 36 sebelum pindah ke Yogyakarta di bulan Desember 1947.
Sebelumnya sebuah iklan penjualan lahan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat menjadi perhatian.
Iklan yang diunggah salah satu akun Instagram itu menjadi perhatian bukan semata karena lokasinya, namun juga karena riwayat pemiliknya.
Salah satu akun berkomentar bahwa lahan yang akan dijual adalah rumah Mr. Achmad Soebarjo, Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia.
Berdasar wikipedia, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896. Ia meninggal di Jakarta, 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun.
Achmad Soebardjo adalah tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia.
Ia adalah Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.
Gelar Meester in de Rechten diperoleh Achmad Soebardjo dari Universitas Leiden Belanda pada 1933.
Pria kelahiran Teluk Jambe, Karawang, itu masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf.
Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Karawang.
Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo.
Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Memperjuangkan Kemerdekaan RI
Semasa mahasiswa, Soebardjo aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda.
Pada Februari 1927 ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman.
Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika.
Sewaktu kembali ke Indonesia, Achmad Soebardjo aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Peristiwa Rengasdengklok
Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok.
Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Achmad Soebardjo melakukan perundingan. Achmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok.
Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru memproklamasikan kemerdekaan.
Bahkan Achmad Soebardjo memberikan jaminan dengan taruhan nyawa bahwa proklamasi kemerdekaan akan diumumkan pada 17 Agustus 1945 selambat-lambatnya pukul 11.30.
Dengan adanya jaminan itu, Komandan Kompi Peta Rengasdengklok Cudanco Subeno bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta.
Susun Naskah Proklamasi
Achmad Soebardjo terlibat dalam penyusunan naskah proklamasi kemerdekaan RI. Konsep naskah proklamasi disusun Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo di rumah Laksamana Muda Maeda.
Setelah selesai dan beragumentasi dengan para pemuda, dinihari 17 Agustus 1945, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti Melik mengetik naskah proklamasi.
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, pada 18 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama.
Ia kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan, Soebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia.
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo meninggal dunia dalam usia 82 tahun pada 15 Desember 1978 di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang menimbulkan komplikasi.
Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung, Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2009.
Mungkinkah Kemlu Membeli?
Berdasarkan penelusuran di Twitter, iklan penjualan rumah tersebut pernah muncul pada tahun lalu. Hal itu tersirat dari pertanyaan warganet tentang kemungkinan Kemlu membelinya.
Min hari ini pas lewat dpn rumah ini terpasang banner "dijual".
— Jackie Perbley (@Jackielanesra) December 11, 2020
Apakah mungkin Kemenlu membeli rumah tersebut untuk dpt dijadikan museum diplomasi? ?
Sedangkan akun @hujanpanass menyebutkan soal iklan yang sama muncul pada bulan ini.
Properti tsb ada Di iklan kan untuk dijual di Instagram oleh akun kritohouse dg harga 200 milyar.
— NamapanggilannyaA (@hujanpanass) April 12, 2021
Pertanyaan soal kemungkinan pemerintah melalui Kemlu membeli rumah peninggalan Mr. Achmad Soebardjo tersebut bisa jadi mengusik benak banyak orang.
Mereka yang berpandangan romantis, tentu menilai rumah bersejarah itu sayang kalau tidak diselamatkan dan menjadi salah satu aset konservasi nasional.
Namun, mereka yang berpikiran pragmatis, bisa jadi berpandangan lain. Realitas yang ada sekarang, negara sedang butuh dana banyak untuk menanggulangi dampak pandemi Covid-19.
Pengeluaran dana secara tiba-tiba untuk menyelamatkan sebuah bangunan bisa saja melahirkan pertanyaan. Persoalan tentu akan bermuara ke anggaran.
Jadi, jangan heran, kalau pertanyaan soal kemungkinan rumah peninggalan Menlu pertama RI itu diselamatkan negara jawabannya bisa beragam.
Paling tidak, kemungkinan jawabannya akan bergulir di antara dua pandangan di atas, yang romantis dan pragmatis.
Nah, kalau Anda diminta memberi dukungan, mana pilihan Anda?