Bisnis.com, JAKARTA - Petinggi Koalisi Aksi Menyelematkan Indonesia (KAMI) Syahganda Naionggolan menyampaikan nota pembelaan atau pledoi. Seperti diketahui, dia tersangkut kasus penyebaran informasi palsu atau hoaks.
Jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Depok untuk menghukum Syahganda selama 6 tahun penjara.
Dalam pledoinya, dia mengatakan sesungguhnya persoalannya di pengadilan itu lantaran dirinya menjalankan hak demokratisnya. Syahganda mengaku hanya melakukan kritik sosial terkait dominasi kaum cukong atau oligarki.
Dia mengatakan tuduhan terhadap dirinya terkait perbuatan berbohong dan menciptakan keonaran lewat postingan tanggal 12 September 2020, yakni soal 'Cukong", juga tidak ada urusannya dengan demonstrasi besar-besaran yang terjadi pada 8 Oktober 2020.
"Tweets tanggal 12/9/2020 atau dua bulan sebelum 8 Oktober itu adalah soal pilkada. Dalam Twitter harus kita pahami perbincangan hangat selalu mengikuti tren isu. Jika orang diskusi soal pilkada dan isunya cukong maka isu itu selesai ketika orang berdiskusi soal Omnibus Law RUU Ciptaker," kata Syahganda dikutip dari pledoinya, Jumat (9/4/2021).
Dia mengatakan tindakan yang mengaitkan cuitannya soal pilkada dengan kerusuhan besar-besaran Omnibus Law RUU Ciptaker terlalu dipaksakan. Apalagi, kata dia, sudah dijelaskan di persidangan bahwa agenda anti-cukong dalam pilkada dan negara adalah agenda yang diusung oleh pemerintah sendiri, yakni Menkopolhukam RI.
Baca Juga
"Saya hanya memperkuat isu positif yang dilakukan pemerintah. Makanya, saya bingung sebingung-bingungnya, kritik pemerintah ditangkap, mendukung sebuah sikap positif pemerintah juga ditangkap. Saya dituntut 6 tahun penjara dikaitkan dengan WAG KAMI, tapi pemimpin KAMI diberikan Bintang Mahaputra oleh presiden. Ya membingungkan sekali," katanya.
Syahganda pun menegaskan tidak mempunyai agenda mengganggu stabilitas nasional apalagi berpikir menurunkan kekuasaan pemerintah. Begitu juga KAMI, ucap Syahganda, tidak memiliki agenda terkait kekuasaan.
"Bahwa, KAMI melakukan kritik-kritik keras terhadap pemerintah atas berbagai kebijakan, itu adalah kritik konstruktif. Semua bahan kritik diserahkan kepada lembaga-lembaga resmi negara, baik Presiden maupun legislatif. Hanya saja, karena didalam KAMI berkumpul doktor-doktor, profesor-professor, beberapa mantan jenderal dan petinggi negara, membuat kajian KAMI begitu komplit dan presisi, sehingga bisa jadi 'memedaskan kuping' pemerintah," katanya.
Dia pun meminta Majelis Hakim agar membebaskannya dari segala tuntutan jaksa dan memulihkan nama baiknya.
"Mohon sudilah kiranya Bapak Ramon Wahyudi, Hakim Ketua, Bu Nur Ervianti Meliala, dan Pak Andi Imran Makkalau, Hakim Anggota, yang merupakan wakil Allah di muka bumi, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, membebaskan saya dari semua tuntutan jaksa, dan memerintahkan kepada negara untuk memulihkan nama baik saya," ucapnya.
Syahganda pun meminta maaf bila dirinya dihukum karena cuitannya mengganggu atau membuat 'panas' kuping pemerintah .
"Saya meminta maaf kepada Rakyat Indonesia. Saya mencintai kalian semua. Namun, saya akan memilih hijrah ke negeri Belanda, jika demokrasi dan kebebasan hilang, seperti saya lakukan tahun 1993-1995," katanya.