Bisnis.com, JAKARTA – Nama Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena shortfall penerimaan pajak, bukan pula karena doyan memberi insentif ke pengusaha atau taipan, melainkan karena kasus suap.
Seperti diketahui, setelah lama dipendam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya mengungkapkan bahwa penyidiknya sedang membuka penyidikan terkait kasus dugaan suap pajak di Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu).
Informasi soal penyidikan kasus pajak itu sebenarnya sudah beredar beberapa hari belakangan. Namun demikian, pihak KPK sampai Senin kemarin belum ada yang membeberkan seluk beluk kasus suap yang nilainya diduga mencapai puluhan miliar tersebut.
Dengan nilai suap yang cukup besar, kuat dugaan potensi penerimaan pajak yang hilang karena praktik tak terpuji pegawai pajak itu nilainya cukup besar. Denda untuk pemeriksaan pajak saja bisa sampai dengan 200 persen. Itu kalau dalam konteks tax amnesty, terutama pelanggaran Pasal 18 UU Pengampunan Pajak.
Adapun dalam perkara ini KPK akan terus berkoordinasi dengan otoritas pajak. KPK menyatakan akan menangani kasus suapnya, sementara Kemenkeu akan memeriksa ulang pembayaran pajak yang korporasi yang diduga terpengaruh oleh suap tersebut.
"Supaya ditentukan pajak yang bener berapa, kalau memang benar ada kekurangan pajak dendanya itu kan 200 persen," ujar Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Selasa kemarin.
Namun demikian, Alex belum bisa mengungkap identitas pihak yang sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini. Pasalnya, KPK saat ini sedang fokus untuk melengkapi alat bukti skandal suap tersebut.
"Kami sedang penyidikan betul, tapi tersangkanya nanti dalam proses penyidikan itu kan mencari alat bukti untuk menetapkan tersangka, ini yang sedang kami lakukan," kaya Alex, Selasa (2/3/2021).
Alex membeberkan kasus ini diawali dari wajib pajak yang memberikan sejumlah uang, dengan tujuan supaya nilai pembayaran pajaknya menjadi rendah. Seperti penanganan pajak sebelumnya, transaksi suap dalam perkara yang disidik KPK itu dimaksudkan supaya nilai pajak yang dibayar oleh sebuah korporasi lebih rendah.
“Jadi selalu ada imbal balik ketika itu menyangkut perpajakan itu ada kepentingan PT dengan pejabat pajak, kalau mau pajaknya rendah ada upahnya kan gitu," jelasnya.
Dia hanya memberikan 'bocoran' bahwa nilai suap dalam kasus ini mencapai miliaran rupiah. Alex juga memaparkan tim penyidik lembaga antirasuah telah melakukan penggeledahan di beberapa lokasi guna mengusut kasus ini. Dia menjelaskan bahwa penggeledahan dan penanganan kasus ini dilakukan lewat koordinasi dengan Kemenkeu dan Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu.
Kejadian Barulang
Pengungkapan kasus suap di Ditjen Pajak menambah daftar panjang kongkalikong antara petugas pajak dengan pengusaha.
Pada 2019 lalu, misalnya, KPK juga telah mengungkap skandal suap pajak yang menyeret empat pegawai pajak dan seorang komisaris di PT Wahana Auto Ekamarga (WHE).
Skandal tersebut juga menegaskan hipotesis Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan bahwa restitusi sebagai salah satu titik rawan korupsi di sektor perpajakan.
Sejak lama, proses pencairan restitusi memang menjadi sorotan. Tak hanya masalah administrasi. Bukan pula soal lama atau tidaknya pencairan restitusi. Pencairan restitusi justru kerap berujung suap antara petugas pajak dan pengusaha.
Ada banyak kasus yang mencuat mulai dari PT WHE, skandal suap eks Ditgakum Ditjen Pajak Handang Soekarno, hingga kasus pemerasan terhadap PT EDMI yang juga terkait pencairan restitusi. Menariknya ketiga korporasi tersebut merupakan investor asing alias PMA.
Khusus kasus PT WHE, sebelum diungkap KPK, pihak Kementerian Keuangan sebenarnya telah melakukan 'penindakan' terhadap empat orang pegawainya. Dua orang sudah dikenakan hukum disiplin, sedangkan yang dua lainnya dibebastugaskan dan menunggu proses untuk mendapatkan sanksi.
Namun, karena ada dugaan pidana korupsi berupa penyuapan dalam perkara empat pegawai pajak itu, lembaga antikorupsi kemudian turun tangan dan menetapkan empat pegawai pajak dan seorang komisaris PT WHE sebagai tersangka kasus pajak.
"Alih-alih perusahaan membayar pajak ke negara, justru negara yang harus membayar klaim kelebihan bayar pada perusahaan," ujar Saut Situmorang saat masih menjabat pimpinan KPK.
Terlepas bagaimana kasus ini berjalan nantinya. Bisa dibilang, upaya akal-akalan pajak PT WHE ini agak mirip dengan perkara penyuapan terhadap Handang Soekarno, eks Kasubdit Bukper Ditgakum Ditjen Pajak.
Handang ditangkap KPK seusai menerima 'angpao' dari Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia.
Modusnya sama yakni dengan membantu permasalahan pajak korporasi. Di pengadilan, saat Handang disidang, dia tak hanya mengurus tax amnesty yang ditolak, dia juga mengurus pengajuan restitusi hingga bukper yang sebenarnya tengah dilakukan di KPP PMA Enam Kalibata.
Bedanya dengan skandal PT WHE, dalam dokumen dakwaan KPK, kasus ini menyeret sejumlah pejabat di otoritas pajak dan orang dekat istana.
Sebut saja dari eks Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi, M. Haniv yang waktu itu menjabat Kakanwil DJP Jakarta Khusus, hingga ipar Presiden Joko Widodo, Arif Budi Sulistyo. Bahkan ketiganya dikabarkan pernah bertemu.
Haniv, saat dihubungi Bisnis.com pada Februari 2017, pernah mengungkap adanya pertemuan antara ketiga tokoh tersebut. Pertemuan itu diinisiasi sendiri oleh Arif dan dia hanya membantu untuk menghubungkan dengan pejabat pusat.
"Kalau soal apa yang dibicarakan saya tidak mau mengomentarinya. Karena saya hanya penghubung, tidak ikut pertemuan," ungkapnya.
Selain kasus Handang, perkara restitusi lainnya, yang sempat menjerat petugas pajak yakni pemerasan pajak PT EDMI salah satu penanaman modal asing (PMA) yang diungkap pada 2016.
Bedanya dengan dua kasus di atas, posisi PT EDMI dalam perkara ini adalah korban pemerasan yang dilakukan oleh tiga pegawai pajak di KPP Kebayoran Baru Tiga. Ketiganya kini telah divonis karena memeras atau meminta uang lelah, setelah mengurus restitusi milik PT EDMI.
Penegakan Hukum
Pertengahan 2017, ratusan perusahaan berontak. Mereka mengadu ke pemerintah, karena tak terima menjadi obyek pemeriksaan bukti permulaan (bukper). Apalagi, mereka telah patuh bahkan sebagian mengikuti pengampunan pajak atau tax amnesty.
Namun rengekan para pengusaha ini tentu berbeda dengan versi Ditjen Pajak, wabil khusus Direktorat Penegakan Hukum Ditjen Pajak. Melalui eks Ditgakum, Dadang Suwarna pada November 2017, terungkap bahwa ratusan perusahaan ini sengaja membuat faktur fiktif untuk mengakali restitusi.
Eks Ditgakum Ditjen Pajak Dadang Suwarna? Dadang merasa praktik itu merugikan negara. Ada puluhan triliun dana yang mengalir sia-sia karena praktik kejahatan pajak tersebut. Apalagi persentase kebocoran kas negara dari praktik pengajuan restitusi dengan modus menggunakan faktur bodong cukup signifikan.
Pada 2016 misalnya, dari Rp101 triliun duit restitusi, hampir 20%-30% di antaranya diduga diajukan dengan menggunakan faktur bodong. Atas dasar inilah bukper kemudian dilakukan kepada ratusan perusahaan pengguna faktur bodong.
Belum sempat kasus ini klimaks, Dadang sendiri akhirnya harus merelakan jabatannya sebagai Dirgakum Dirjen Pajak. Versinya, dia hengkang karena ada banyak tekanan dari pihak internal yang memintanya untuk membatalkan bukper yang kadung ditebar sebelumnya.
Berbagai skandal suap yang melibatkan pejabat pajak maupun pengusaha, bukannya tak mendapat respons pemerintah. Baik Kementerian Keuangan maupun Ditjen Pajak telah mengubah mekanisme pencairan restutusi misalnya melalaui PMK No.39/PMK.03/2018.
Selain itu, skema pemeriksaan juga diarahkan lebih fokus kepada WP berisiko tinggi. Setidaknya hal inilah yang tertuang dalam sejumlah arahan dan statemen pemerintah dalam beberapa kesempatan.
Namun demikian, kasus yang baru saja diungkap oleh KPK menunjukkan bahwa, berbagai berbagai kebijakan termasuk reformasi pajak yang digeber oleh pemerintah belum sepenuhnya berhasil. Praktik suap terus terjadi. Dan ‘tikus-tikus’ rakus masih bebas merampok uang yang seharusnya diterima negara.