Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP), Jamil Burhanuddin berpendapat problem kepesertaan dalam pemilihan umum (Pemilu) langsung calon presiden jauh dari apa yang diharapkan masyarakat.
Menurut Jamil, Pasal 222 UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur presidential threshold 20 persen itu sebenarnya problem konstitusional yang belum terpecahkan.
"Para pembuat regulasi tidak membuka ruang diskusi yang luas terutama jika dikaitkan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, saya yakin jika dibuka ruang diskusi yang luas, maka akan memberikan argumentasi menghapus ambang batas pencalonan presiden baik melalui revisi atau Mahkamah Konstitusi," kata Jamil dalam keterangan resminya, Senin (1/3/2021).
Jamil menegaskan bahwa jika ambang batas pencalonan Presiden dihapus, maka akan melahirkan figur-figur alternatif capres cawapres, sehingga tidak akan seperti pada pemilu 2019 yang hanya dua capres.
Terkait dengan pilkada, menurut Jamil, ketika ada norma yang mengatur pilkada akan dilaksanakan pada 2024, seharusnya diajukan ke Mahkamah Konstitusi, dikarenakan pilkada serentak 2024 berpotensi menimbulkan begitu banyak dampak negatif terhadap pemerintah daerah.
Jamil pun mempertanyakan bagaimana mungkin, sebagian besar daerah-daerah baik di propinsi, kabupaten dan kota yang kepala daerahnya akan habis masa jabatannya, akan diisi oleh pelaksana tugas yang kecenderungannya bagian dari partai tertentu.
"Saya kira kemudian orang akan tidak begitu mudah bahwa penunjukan nanti itu tidak berbasis pada kebijakan. Artinya ada semacam memiliki kedekatan politik dengan parpol tertentu. Saya kira perlu dibawa ke MK untuk uji materi (judicial review) tentang keserentakan pilkada," tegas Jamil.