Bisnis.com, JAKARTA - Teknologi generasi kelima atau 5G belum merambah sebagian besar dunia tetapi negara-negara adidaya telah bertarung untuk 6G.
Meskipun masih setidaknya satu dekade lagi untuk menjadi kenyataan, 6G yang bisa mencapai 100 kali lebih cepat dari kecepatan puncak 5G, dapat menghadirkan jenis teknologi yang telah lama menjadi bahan fiksi ilmiah, dari hologram waktu hingga taksi layang dan tubuh serta otak manusia terhubung dengan internet.
Bagi perusahaan dan pemerintah, taruhannya sangat tinggi. Pihak pertama yang mengembangkan dan mematenkan 6G akan menjadi pemenang terbesar dalam apa yang disebut revolusi industri berikutnya.
Hal itu menggarisbawahi bagaimana geopolitik memicu persaingan teknologi, terutama antara Amerika Serikat dan China.
"Upaya ini sangat penting sehingga sampai batas tertentu menjadi perlombaan senjata. Ini akan membutuhkan pasukan peneliti untuk tetap kompetitif," kata Peter Vetter, kepala akses dan perangkat di divisi penelitian Nokia Oyj, Bell Labs, dilansir Bloomberg, Selasa (9/2/2021).
Perkembangan 6G dapat memberi AS kesempatan untuk mendapatkan kembali dominasi dalam teknologi nirkabel.
Baca Juga
"Kemungkinan besar persaingan untuk kepemimpinan 6G akan lebih sengit daripada untuk 5G," kata Vikrant Gandhi, direktur industri senior teknologi informasi dan komunikasi di perusahaan konsultan Frost & Sullivan di AS.
Jelas bahwa 6G sudah ada dalam pikiran para pembuat kebijakan di Washington dan Beijing. Mantan Presiden Donald Trump menyatakan dalam tweet-nya pada awal 2019, misalnya, dia menginginkan 6G secepat mungkin.
Sedangkan China sudah bergerak maju. Negara itu meluncurkan satelit pada November lalu untuk menguji gelombang udara untuk potensi transmisi 6G. Sedangkan Huawei Technologies Co memiliki pusat penelitian 6G di Kanada. Produsen peralatan telekomunikasi ZTE Corp. juga bekerja sama dengan China Unicom Hong Kong Ltd. untuk mengembangkan teknologinya.
AS telah menunjukkan bahwa ia memiliki kemampuan untuk secara serius melumpuhkan perusahaan China, seperti dalam kasus ZTE, yang hampir bangkrut setelah Departemen Perdagangan melarangnya selama tiga bulan pada 2018 untuk membeli teknologi Amerika. Langkah serupa dapat menghambat ambisi 6G Huawei.
Washington sudah mulai membuat sketsa garis pertempuran 6G. Alliance for Telecommunications Industry Solutions, pengembang standar telekomunikasi AS yang dikenal sebagai ATIS, meluncurkan Next G Alliance pada Oktober lalu untuk memajukan kepemimpinan Amerika Utara dalam 6G.
Anggota aliansi ini termasuk raksasa teknologi seperti Apple Inc., AT&T Inc., Qualcomm Inc., Google, dan Samsung Electronics Co., tetapi tidak menyertakan Huawei.
Aliansi ini mencerminkan cara dunia terpecah menjadi kubu yang berlawanan sebagai akibat dari persaingan 5G. Dipimpin oleh AS, yang mengidentifikasi Huawei sebagai risiko spionase, negara-negara termasuk Jepang, Australia, Swedia dan Inggris telah menutup perusahaan itu dari jaringan 5G mereka. Namun, Huawei disambut baik di Rusia, Filipina, Thailand, dan negara-negara lain di Afrika dan Timur Tengah.
Uni Eropa pada Desember juga meluncurkan proyek nirkabel 6G yang dipimpin oleh Nokia, yang mencakup perusahaan seperti Ericsson AB dan Telefonica SA, serta universitas.
Kurangnya kepercayaan pada perusahaan China seperti Huawei sepertinya tidak akan berkurang dengan 6G. Negara-negara demokrasi tumbuh semakin khawatir tentang bagaimana teknologi 5G digunakan oleh rezim otoriter, dengan kekhawatiran bahwa 6G dapat mengaktifkan teknologi seperti pengawasan drone massal.
China sudah menggunakan kamera pengintai, kecerdasan buatan, pengenalan wajah, dan biometrik seperti sampel suara dan DNA untuk melacak dan mengontrol warga.